ETIK,
EMIK, DAN ETNOSENTRISME
![]() |
|||||
![]() |
|||||
![]() |
|||||
OLEH
KELOMPOK I
Nama
: Novretman Duha
Sanotona Waruwu
Tonius Waruwu
Nifilizaro Waruwu
Yudiati Laia
SEM/Kelas
: IV/2
Prodi
: Bimbingan Dan
Konseling
Matakuliah
: Bk Lintas Budaya
Dosen
Pengampu : Sesilianus Fau, M.Th.,M.Pd

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
(STKIP) NIAS SELATAN
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha
Esa atas segala hikmat yang telah di berikan kepada kita semua sehingga
penyusun makalah dengan judul “Etik,
Emik, dan Etnosentrisme” dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Pada penyusunan makalah ini, kami
tidak dapat menyelesaikannya tanpa adanya bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu penulis sangat berterimakasih kepada dosen pengampu
matakuliah bimbingan dan konseling lintas budaya Bpk, Sesilianus Fau, M.Th.,
M.Pd dan teman teman yang telah mendukung pembuatan makalah ini.
Sungguh merupakan suatu kebaggan
dari kami apabila makalah ini dapat terpakai sesuai fungsinya, dan pembaca
dapat mengerti dengan jelas apa yang
dibahas di dalamnya. Tidak lupa juga penulis meminta kritikan dan saran yang
konstruktif demi memperbaiki makalah di kemudian hari.
Demikian semoga Tuhan memberkati
kita semua terima kasih
Telukdalam
26 April 2016
Penyusun
KELOMPOK
I
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR………………………………………………………………………i
DAFTAR
ISI…………………………………………………………………………………ii
BAB
I PENDAHULUAN……………………………………………………………………1
A. Latar belakang……………………………………………………………………...1
B. Rumusan masalah…………………………………………………………………..1
C. Tujuan………………………………………………………………………………1
BAB
II PEMBAHASAN…………………………………………………………………….2
A. Pengertian
etik dan emik …………………………………………………….……..2
B. Etnosentrisme
dalam kehidupan budaya …………….……...………………….…..4
C. Pengaruh
etik, emik dan etnosentrisme dalam proses konseling…………………...5
BAB
III PENUTUP…………………………………………………………………….……6
A. Kesimpulan…………………………………………………………………………6
B. Saran………………………………………………………………………………..6
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan masyarakat, masyarakat
tidak pernah lepas dari kebudayaan. Kebudayaan menempatkan posisi sentral
didalam kehidupan masyarakat tersebut. karena budaya berfungsi bagi masyarakat
sebagai transmisi budaya, pengembang kehidupan ekonomi, pelanjut keturunan,
keagamaan, pengendali sosial, dan rekreasi. Selain budaya berfungsi bagi
masyarakat, budaya berpengaruh pula terhadap cara berpikir, ekspresi emosi,
kepribadian, keyakinan, dan kehendak individu, kelompok sehingga kebudayaan
sangat mewarnai kehidupan individu atau kelompok masyarakat.
Seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi ( IPTEK), beberapa para ahli mencoba meneliti
berbagai bentuk atau ragam budaya yang ada dalam masyarakat. Berdasarkan hasil
penelitian mereka dari kajian lintas budaya di temukan dua jenis budaya didalam
masyarakat. Budaya tersebut dibedakan dengan sebutan etik (etics) ialah budya
bersifat universal, dan emik (emics) ialah kekhasan dari budaya setempat.
Selain perbedaan budaya tersebut didalam psikologi lintas budaya menemukan juga
cara yang biasa digunakan oleh masyarakat untuk melihat budaya lain yang
disebut etnosentrisme.
Berdasarkan kajian-kajian psikologi
lintas budaya tersebut penulis tertarik untuk mencoba menjelaskan secara
terperinci tentang etik, emik, dan etnosentrisme. Oleh karenanya didalam
pembahasan makalah ini akan memuat pembahasan tentang etik, emik, dan
etnosentrisme.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa
yang dimaksud etik (etics) dan emik (emics)?
2. Apa
yang dimaksud dengan etnosentrisme?
3. Bagaimana
implikasi etik, emik dan etnosentrisme dalam proses konseling individual/
kelompok?
C. TUJUAN
Untuk memenuhi tugas dari matakuliah
bimbingan dan konseling lintas budaya serta mengetahui dan memahami apa itu etik,
emik, dan etnosentrisme dalam konseling lintas budaya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ETIK DAN EMIK
Kehidupan masyarakat tidaklah pernah
dapat dihindari keyataan bahwa budaya sangat berpengaruh terhadap perilaku,
ekspresi emosi, kepribadian, keyakinan, dan kehendak. Budaya dapat diartikan secara
umum sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia. Shiraf dan Levi
(dalam buku Sarlita W. Sarwono) mengemukan sebuah defenisi budaya ialah suatu
set dari sikap, perilaku, dan simbol-simbol yang dimilki bersam oleh manusia
dan biasanya dikomikasikan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Berdasarkan pengertian diatas maka dapat
dikatakan bahwa didalam masyarakat sebuah budaya menempatkan posisi penting
dalam kehidupan masyarakat. Budaya dalam kehidupan individu atau kelompok
membuat suatu perbedaan antara sekelompok orang dengan kelompok lain. Didalam
penelitian para ahli dalam psikologi lintas budaya di kemukakan ada dua jenis
ragam budaya yang ada dalam masyarakat yaitu etik dan emik.
Salah satu cara utama
mengkoseptualisasikan prinsip-prinsip serta perbedaan budaya, dapat dilakukan
melalui penggunaan istilak etik (etic) dan emik (emics). Kedua istilah ini mengacu
pada keunikan yang bersifat universal dan kekhasan budaya, pengetahuan, dan
kebenaran. Dalam hal ini etik mengacu pada temuan-temuan yang tampak konsisten
tetap diberbagai budaya ; dengan kata lain, sebuah etik mengacu pada sebuah
kebenaran atau prinsip –prinsip yang universal. Emik sebaliknya mengacu pada
temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang berbeda; dengan dengan
demikian, sebuah emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas budaya (cultur
specific).
Karena implikasinya pada apa yang kita
ketahui sebagai kebenaran yang bersifat khas budaya. Etik dan emik merupakan
konsep-konsep yang kuat (power full). Kalau kita tahu sesuatu tantang perilaku
manusia dan menganggapnya sebagai kebenaran, dan hal itu adalah suatu etik
(universal) maka kebenaran sebagaimana kita ketahui itu adalah kebenaran bagi
semua orang dari budaya lain. Kalau yang kita ketahui tentang perilaku manusia
dan yang kita anggap sebagai kebenara itu ternyata adalah suatu emik (bersifat
khas budaya), maka apa yang kita angggap kebenaran tersebut belum tentu
merupakan kebenaran bagi orang dari budaya lain. Bahkan kebenaran itu bisa
sangat berbeda, kebenaran dalam hal ini adalah hal yang relative. Defenisi
kebenaran yang memperhitungkan etik dan emik ini memaksa kita semua untuk
mempertimbangkan kebenaran hal-hal yang kita yakini.
Etik dan Emik adalah dua macam sudut
pandang dalam etnografi yang cukup mengundang perdebatan. Emik (native point of
view) misalnya, mencoba menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan
sudut pandang masyarakat itu sendiri, sebaliknya Etik merupakan penggunaan
sudut pandang orang luar yang berjarak (dalam hal ini siapa yang mengamati)
untuk menjelaskan fenomena dalam masyarakat.
Secara sederhana, berdasarkan beberapa
penjelasan diatas dapat ditarik suatu kesimpulan tentang defenisi Etik dan
Emik. Etik adalah suatu kebenaran yang diakui, diterima oleh seluruh masyarakat
tanpa memandang perbedaan budaya, dengan kata lain kebenaran yang dimaksud
berlaku untuk semua orang (bersifat universal). Sebaliknya, Emik adalah suatu
kebenaran yang hanya diterima dan di akui oleh masyarakat setemapat dan tidak
berlaku bagi orang yang berasal dari budaya yang berbeda. Emik dalam hal ini
menawarkan sesuatu yang lebih obyektif.
Secara umum, sebagian besar ahli psikologi
lintas budaya, sepakat bahwa jumlah etik dan emik sama, atau bahkan lebih
banyak emik dari pada etik. Artinya, orang dari budaya yang berbeda memang
menemukan cara-cara yang berbeda dalam kebanyakan aspek perilaku manusia. Kalau
dipikirkan hal ini tidaklah mengejutkan. Setiap budaya berevolusi dengan cara
khasnya masing-masing untuk menangani perilakun manusia dengan gaya yang paling
efisien dan sesuai agar sukses bertahan hidup. Cara-cara ini akan berbeda
tergantug kepadatan penduduk, ketersediaan
makanan, dan sumber-sumber lain. Karena pasti menghadap kebutuhan yang berbeda
dengan lingkunganya, setiap kebudayaan akan mengembangkan perbedaan-perbedan
yang kemudian berdampak kepada orang-orang yang berada didalam budaya tersebut.
Adanya
emik atau perbedaan cultural, bukan sesuatu yang problematic dalam diri
individu/ kelompok masyarakat. Namun permasalahnya secara potensial akan muncul
ketika kita mencoba menafsirkan alasan yang mendasari atau yang menyebabkan
adanya bebagai perbedaan itu. Karena kita berada dlam budaya kita
masing-masing, dengan latar belakang kultur kita sendiri, kita cenderung
melihat sesuatu dari kacamata latar belakng tersebut. dengan kata lain, budaya
bertindak sebagai suatu filter (penyaring), tidak hanya ketika kita
memperesepsikan seseorang, tetapi juga ketika kita berpikir tentang menafsirkan
suatu kejadian . kita bisa menafsirkan perilaku orang lain dari latar belakang
cultural kita sendiri dan menarik beberapa kesimpulan tentang perilaku tersebut
berdasarkan keyakinan kita tentang perilaku dan budaya kita sendiri. Tetapi
penafsiran kita bisa salah bila perilaku yang sedang kita nilai berasal dari
suatu orientasi cultural yang berbeda dari budaya kita.
B. ETNOSENTRISME DALAM KEHIDUPAN
BUDAYA
Dalam menjalani kehidupan individu atau
kelompok masyarakat sering memeberikan persepsi, penilaian/penafsiran terhadap
sesuatu hal tanpa mempertimbangkan Etik dan Emik. Cara atau proses yang
dilakukan individu atau kelompok tersebut ialah Etnosentrisme. Sebagaiman
Matsumoto dan Julang, 2004 (dalam buku Sarlit W. Sarwono) mengemukakan defenisi
dari etnosentrisme adalah kecenderungan
untuk melihat dunia melalui kacamata budaya sendiri.
Selain dari pendapat Masumoto & Juang
2004, Mulyana :2000,70 (http ://xihuanpsichology.blongspot.com) etnosentrisme
adalah cara memandang dan mengukur budaya-budaya asing dengan budayang sendiri.
Jelas
sekali bahwa dengan kita bersikap etnosentrisme, kita tidak dapat memandang
perbedaan budaya itu sebagai keunikan dari masing-masing budaya yang patut kita
hargai. Dengan memandang budaya kita sendiri lebih unggul dan budaya lainya
merupakan budaya yang salah, maka komunikasi lintas budaya yang efektif
hanyalah angan-angan karena kita akan cenderung membatasi komunikasi yang kita
lakukan dan sebisa mungkin kita terlibat dengan budaya asing yang berbeda atau
bertentangan dengan budaya kita. Dalam hala ini etnosentrisme bukanlah
merupakan sesuatu yang baik, ia hanya mencerminkan kondisi dimana setiap orang
memiliki budaya sebagai penyaring (filter) dalam menilai orang lain.
Selanjutnnya, etnosentrisme dapat
menimbulkan prasangka. Prasangka adalah sikap yang tidak menguntungkan, baik
bagi individu, golongan, atau kelompok lain karena didasarkan pada pandangan
yang belum terbukti kebenaranya (Meinaro dkk, 2011 (dalam buku Sarlito W.
Sarwono). Prasangka terdiri dari dua jenis yaitu : prasangka eksplisit dan
prasangka implicit. Prasangka eksplisit adalah prasangka yang diutarakan secara
terbuka terhadap publik. Sedangkan prasangka implicit adalh prasangka yang
merupakan prasangka yang merupakan bagian dari nilai, kepercayaan atau sikap
masyarakat.
Matumoto
& Juang, 2004 (dalam buku Sarlito W. Sarwono) berpendapat bahwa prasangka
berasal dari ketidakmampuan individu menyadari keterbatasan dalam berpikir
secara etnosentrisme. Beberapa tokoh lain juga mengeluarkan pendapat mengenai
penyebab prasangka. Misalnya, Van dan Berghe 1981 (dalam buku Sarlito W.
Sarwono) yang mengeluarkan teori sosial biologi dan evolusi unnutk menjelaskan
mengenai prasangka. Terjadinya prasangka juga dianggap disebabkan oleh konflik
kekuasaan antar kelompok. Duckih, 1992; Healey, 1999 (dalam buku Sarlito W.
Sarwono).
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa prasangka merupakan sesuatu tanggapan
akan sesuatu yang tidak terbuktik/ belum pasti. Dalam hal ini prasangka di
timbulkan oleh beberapa factor yaitu, perbedaan budaya, status sosial/ ekonomi,
dan keyakinan.
C. PENGARUH ETIK, EMIK, DAN
ETNOSENTRISME DALAM PROSES KONSELING
Proses kegiatan konseling merupakan
kegiatan yang sangat penting bagi kehidupan individu/ kelompok dalam kehidupan
masyarakat dalam hal menangani bebagai kesulitan yang dihadapi dalam menjalani
kehidupan. Kegiatan konseling pada umumnya melibatkan antar konselor dank lien,
dalam hal ini konselor dan klien memiliki perbedaan-perbedaan khusunya dalam
kebiasaan/ budaya.
Berdasarkan konselor dan klien khusunya
dalam segi latar belakang budaya, maka kegiatan konseling juga disebut juga
disebut sebagai konseling lintas budaya. Menurut Burn, konseling lintas budaya
adalah proses konseling individual yang melibatkan konselor dank lien yang
berlatar belakang budaya yang berbeda.
Apabila dalam kegiatan konseling juga
mempermasalahkan tentang latarbelakang konselor dank lien yang tidak lain ialah
budaya, maka dalam proses tersebut pula harus mempertimbangkan bahwa dalam
kehidupan bebudaya terdapat Etik dan Emik.
Etik
dan Emik sangat perlu dipahami terutama konselor, dimana Eti dan Emik sangat
berpengaruh dalam proses konseling dimana dalam proses konseling apabila
seorang konselor memahami betul tentang Etik, Emik, maka dalam prosesnya pun
perbedaan dari klien dapat dianggap sebagai keunikan klien tersebut sehingga
proses konseling dapat mencapai tujuanya secara optimal yaitu menangani masalah
klien serta meberikan solusi masalah tersebut. sebaiknya apabila seorang
kenselor melakukan kegiatan konseling tanpa mempertimbangkan Etik, Emik. Maka
konselor dapat menerima klien dengan menggunakan etnosentrisme. Dalam hal ini perbedaan
klien dianggap sebagai tindakan yang salah bila konselor menggunakan etnosentri
maka sudah pasti klien merasa enggan dan tidak nyaman sehingga penciptaan
suasan yang harmonis dalam proses konseling hanya sebagai angan-angan saja. Dan
juga proses konseling tidak akan pernah mencapai tujuanya secara optimal.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam
pembahasan makalah ini, ada beberapa kesimpulanya adalah sebagai berikut :
1. Etik
adalah pandangan indvidu atau kelompok masyarakat dalam penerimaan kebenaran,
keyakinan yang bersifat universal.
2. Emik
adalah suatu kebenaran, keyakinan, pandangan individu yang dapat diterima oleh
sejumlah masyarakat yang bersifat khas budaya.
3. Etnosentrisme
adalh kecenderungan individu untuk melihat budaya yang melalui kacamata budaya
sendiri.
4. Etik
dan Emik sangat mempengaruhi proses kegiatan konseling, dimana Etik, Emik
merupakan factor penentu berhasil tidaknya kegiatan konseling tersebut. apabila
konselor tidak mampu memahami etik dan emik maka, konselor akan bersifat
etnosentris dalam penerimaan klien sehingga dapat membuat hubungan konseling
gagal atau tidak dapat terlaksana.
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Masumoto
D. 2004. pengantar psikologi lintas
budaya. Pustaka belajar mei 2004
Sarwono
W. Sarlito, 2004. Psikologi lintas budaya.
Raja grafindo. Persada Jakarta
http
://xihuanpsychology.blogspot.com /2012/10/ pengertian-tujuan-psikologi-lintas-budaya_8.htm
Akses 01/04/2016 jan 21.00 wib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar