BUDAYA DAN KOGNISI
![]() |
|||||
![]() |
|||||
![]() |
|||||
OLEH
KELOMPOK III
Nama
: Magis
Laia
Meniati Hia
Nusiami Laia
PRODI
:
Bimbingan dan Konseling
Matakuliah
: BK
Lintas Budaya
Dosen
Pengampu : Sesilianus
Fau, M,Th.,M.Pd

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
(STKIP) NIAS SELATAN
2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan
kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat dan kasih-Nya kami dapat
menyelesaikan tugas makalah ini dengan judul: “budaya dan kognitif”.
Dalam penyusunan makalah ini ini,
kami banyak mendapatkan bantuan berupa masukan, arahan dan bimbingan serta
kritik dan saran dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak
langsung. Untuk itu kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak
Sesilianus Fau, M.Th.,M.Pd sebagai dosen
pengampu matakuliah Bimbingan
Konseling Lintas Budaya.
2. Teman-teman
mahasiswa yang telah membantu dalam memberikan masukan dan kritikan sehingga
makalah inni dapat kami selesaikan.
Telukdalam, Juni
2016
Penulis
Kelompok
III
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
.............................................................................................................i
DAFTAR ISI ............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
........................................................................................................1
A. Latar
belakang ...............................................................................................................1
B. Rumusan
masalah ..........................................................................................................1
C. Tujuan
............................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
.........................................................................................................2
A. Pengertian
lintas budaya
................................................................................................2
B. Kognisi
..........................................................................................................................3
C. Budaya dan memori
.......................................................................................................5
D. Budaya dan problem
solving
.........................................................................................7
BAB III PENUTUP ...............................................................................................................12
A. Kesimpulan...................................................................................................................12
B. Saran
............................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Sebagai makhluk yang dapat berpikir, manusia memiliki
pola-pola tertentu dalam bertingkah laku. Tingkah laku ini menjadi sebuah
jembatan bagi manusia untuk memasuki kondisi yang lebih maju. Pada hakikatnya,
budaya tidak hanya membatasi masyarakat, tetapi juga eksistensi biologisnya,
tidak hanya bagian dari kemanusiaan, tetapi struktur instingtifnya sendiri.
Namun demikian, batasan tersebut merupakan prasyarat dari sebuah kemajuan.
Menurut Tri Dayakisni (2008) salah satu proses dasar kognisi
ialah pemberian kategori pada setiap benda atau obyek atas dasar persamaan dan
perbedaan karakternya. Selain kedua hal di atas, pemberian kategori juga
biasanya didasarkan pada fungsi dari masing-masing objek tersebut.
Proses-proses mental dari kognisi mencakup persepsi, pemikiran rasional, dan
seterusnya. Ada beberapa aspek kognisi, yaitu kategorisasi (pengelompokan),
memori (ingatan) dan pemecahan masalah (problem solving).
B.
RUMUSAN
MASALAH
Adapun
rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini diantaranya yaitu :
1. Pengertian
lintas budaya?
2. Apa itu
kognisi?
3. Apa itu
budaya dan memori?
4. Menjelaskan
budaya dan problem solving?
C.
TUJUAN
1. Untuk
mengetahui pengertian lintas budaya
2. Untuk
mengetahui apa itu kognisi
3. Untuk
mengetahui apa itu budaya dan memori
4. Untuk
mengetahui menjelaskan budaya dan problem solving
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA
Psikologi lintas budaya adalah kajian mengenai persamaan dan
perbedaan dalam fungsi individu secara psikologis, dalam berbagai budaya dan
kelompok etnik; mengenai hubungan-hubungan di antara budaya psikologis dan
sosio-budaya, ekologis, dan ubahan biologis; serta mengenai perubahan-perubahan
yang berlangsung dalam budaya-budaya tersebut. Sedangkan pendapat beberapa
ahli, yaitu: Segall, Dasen dan Poortinga, psikologi lintas-budaya adalah kajian
mengenai perilaku manusia dan penyebarannya, sekaligus memperhitungkan cara
perilaku itu dibentuk dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan budaya.
Definisi ini mengarahkan perhatian pada dua hal pokok:
keragaman perilaku manusia di dunia dan kaitan antara perilaku terjadi.
Definisi ini relatif sederhana dan memunculkan banyak persoalan. Sejumlah
definisi lain mengungkapkan beberapa segi baru dan menekankan beberapa
kompleksitas: Riset lintas-budaya dalam psikologi adalah perbandingan
sistematik dan eksplisit antara variabel psikologis di bawah kondisi-kondisi perbedaan
budaya dengan maksud mengkhususkan antesede-anteseden dan proses-proses yang
memerantarai kemunculan perbedaan perilaku.
Menurut Matsumoto, (2004) : Dalam arti luas, psikologi
lintas budaya terkait dengan pemahaman atas apakah kebenaran dan prinsip-prinsip
psikologis bersifat universal (berlaku bagi semua orang di semua budaya)
ataukah khas budaya (culture spscific, berlaku bagi orang-orang tertentu di
budaya-budaya tertentu)
Sedangkan Ruang Lingkup Psikologi Lintas Budaya dalam
memahami tentang cabang ilmu psikologi lintas budaya yang dipelejari yaitu :
1. Budaya dan Diri (Self)
2. Persepsi
3. Kognisi & Perkembangannya
4. Psikologi Perkembangan
5. Bahasa
6. Emosi
7. Psikologi Abnormal
8. Psikologi Sosial
B.
KOGNISI
Kognisi adalah istilah umum yang mencakup seluruh proses
mental yang mengubah masukan-masukan dari indera menjadi pengetahuan
(Matsumoto, 2008). Menurut Tri Dayakisni (2008) salah satu proses dasar kognisi
ialah pemberian kategori pada setiap benda atau obyek atas dasar persamaan dan
perbedaan karakternya. Selain kedua hal di atas, pemberian kategori juga
biasanya didasarkan pada fungsi dari masing-masing objek tersebut.
Proses-proses mental dari kognisi mencakup persepsi, pemikiran rasional, dan
seterusnya. Ada beberapa aspek kognisi, yaitu kategorisasi (pengelompokkan),
memori (ingatan) dan pemecahan masalah (problem solving).
Salah satu proses dasar kognisi adalah cara bagaimana orang
melakukan kateorisasi. Kategorisasi dilakukan umumnya atas dasar persamaan dan
perbedaan karakter dari obyek-obyek dimaksud. Selain itu fungsi dari obyek juga
merupakan deterministic utama inidari proses kategorisasi. Missal, ketika kita
melakukan kategorisasi mengenai buku. Ada bermacam-macam buku mulai dari buku
cerita, buku tulis, buku pelajaran hingga buku mewarnai untuk anak-anak.
Semuanya kita masukkan dalam kategorisasi karena kesamaan bentuknya dari
fungsinya yaitu tempat menuliskan sesuatu. Kertas tidak kita kategorisasikan ke
dalam buku karena meskipun fungsinya bias dianggap sama namun dalam hal bentuk
sangat berbeda. Buku tersusun atas banyak lembar kertas, sedang kertas tersusun
atas satu lembar atau bias dihitung sejumlah jari tangan.
Seperti contoh kertas tadi, beberapa konsep psikologi juga
berlangsung universal dalam kategorisasi. Contohnya, adalah kesepakatan dalam
semua budaya akan masalah kategorisasi warna-warna apa yang digolongkan
warna-warna apa yang digolongkan warna primer dan warna sekunder. Semua budaya
tanpa melihat apakah budaya tersebut memiliki kosakata untuk berpuluh variasi
warna ataupun hanya dua kosakata seperti suku di pedalaman. Papua yang hanya
memiliki kosakata warna gelap dan warna terang-ternyata tetap mampu
melakukan penggolongan warna-warna dan diminta untuk menunjukkan kembali ternyata
bias. Namun kesulitan biasanya terjadi ketika warna yang ditunjukkan adalah
warna sekunder (campuran). Seorang Eskimo mampu membedakan gradasi warna es
(warna putih bercampur warna lain) dengan namanya masing – masing. Bagi
individu yang tidak hidup di lingkungan es tentunya akan kesulitan ketika yang
ditunjukkan adalah warna sekunder dari putih.
Orang dengan latar budaya manapun juga cenderung melakukan
kategorisasi bentuk benda (shapes)
dalam kerangka bentuk-bentuk dasarnya, semacam, segitiga sama sisi, lingkaran,
dan segi empat. Hal ini berbeda ketika kategorisasi dilakukan terhadap
bentuk-bentuk geometris yang tidak beraturan. Penemuan dalam lintas budaya ini
membuktikan bagaimana factor psikologis mempengaruhi pada bagaimana manusia
melakukan kategorisasi stimulus dasar tertentu, dalam hal ini yang sudah
terungkap adalah dalam bentuk, warna, dan ekspresi muka (Berry, 1999).
Namun demikian, beberapa penelitian juga telah membuktikan
bagaimana budaya member pengaruh pada perbedaan proses kategorisasi. Contoh
sederhananya, sekalipun apa yang dibuktikan pada perbedaan proses kategorisasi.
Contoh sederhananya, sekalipun apa yang disebut kursi tampaknya semua budaya
memiliki kesepakatan, namun terbuat dari apa yang biasa disebut kursi itu dan
bagaimanabentuk kursi itu tampaknya perbedaan budaya member pengaruh di sini.
Pada beberapa budaya, kursi umumnya terbuat dari bamboo, budaya yang lain
mungkin kursi tersebut dari besi. Namun demikian, kursi panjang dari bamboo
yang di Jawa disebut lincak mungkin saja tidak dikategorikan oleh budaya lain
sebagai kursi tetapi sebagai bentuk lain dari tempat tidur.
Percobaan menarik dilakukan oleh Bruner dan Grenfield
(1966), dalam Matsumoto, (1966) yang mendukung hipotesa adanya pengaruh budaya
dalam proses kategorisasi oleh kognititif manusia. Pada para responden
ditunjukkan beberapa gambar binatang dan beberapa lagi adalah gambar
perlengkapan kerja. Mereka diminta melakukan kategorisasi beberapa lagi adalah
gambar perlengkapan kerja. Mereka diminta melakukan kategorisasi terhadap
gambar-gambar tersebut atas dasar perbedaan warna. Hal ini menjadikan
kesimpulan awal harus ditinjau ulang, pasti ada sesuatu yang lebih dari kesedar
penjelasan sederhana akan kematangan yang mempengaruhi adanya perbedaan dalam
proses kategorisasi dari kedua komunitas yang mempengaruhi sesuatu yang lebih
dari sekedar penjelasan sederhana akan kematangan yang mempengaruhi adanya
perbedaan dalam proses kategorisasi dari kedua komunitas budaya tersebut.
Sejauh ini perbedaan di atas diasumsikan terhadi sebagai
pengaruh tingkatan pendidikan Evans dan Segall (1969, dalam Matsumoto, 1996)
melakukan penelitian di Uganda terhadap anak dan orang dewasa penduduk
setempat. Beberapa diantara responden anak maupun dewasa memiliki pendidikan
yang cukup baik sedangkan yang lain tidak mengenyam pendidikan. Hasilnya
ditemukan bahwa tidak ada perbedaan, sebagaimana percobaan Greenfield, antara
responden dewasa yang tidak memperoleh pendidikan dengan responden anak-anak
baik yang sekolah maupun yang tidak. Sebaliknya ada perbedaan dasar
kategorisasi antara responden dewasa yang memperoleh pendidikan dengan anak- anak
baik yang sekolah maupun yang tidak. Hasil ini menunjukkan bahwa anak-anak baik
yang sekolah maupun yang tidak. Hasil ini menunjukkan bahwa anak-anak melakukan
kategorisasi atas dasar yang lebih kompleks.
C.
BUDAYA DAN MEMORI
Memori ialah proses pengolahan informasi dalam kognitif yang
meliputi pengkodean, penyimpanan, pemanggilan kembali informasi-informasi
tersebut. Dalam hubungannya dalam penyimpanan dan pemanggilan kembali
informasi-informasi tersebut, memori dibedakan menjadi memori jangka pendek (short
term memory) yang jangka waktu menyimpan informasi tidak lebih dari 15-25 detik
dan memori jangka panjang (long term memory) atau memori yang menyimpan
informasi relatif permanen meskipun kadang ada kesulitan dalam memanggilnya
kembali (Dayakisni, 2008)
Ross dan Millson (Matsumoto dalam Dayakisni, 2008) melakukan
sebuah penelitian dengan membandingkan daya ingat pelajar Amerika dan pelajar
Ghania. Mereka menduga bahwa tradisi oral membuat orang lebih baik dalam
kemampuan daya ingatnya. Penelitian mereka ini ialah dengan membacakan cerita
dengan suara yang keras dan membandingkan bahwa pelajar Ghania secara umum
dapat mengingat isi cerita lebih baik daripada pelajar Amerika. Masih dalam
Matsumoto (1996), Cole (1971) menemukan hal lain bahwa sekalipun masyarakat
non-literate dapat mengingat isi cerita lebih baik namun kemampuan mereka dalam
mengingat daftar kata cenderung lebih lama.
Serial Position Effect merupakan salah satu aspek memori
yang paling dikenal karena pada hipotesa ini juga menerangkan bahwa seorang
individu akan mampu mengingat lebih baik bagian pertama yang dibaca (primary
effect) atau bacaan terakhir dari daftar kata yang harus diingat (recency
effect). Meskipun demikian Wagner (dalam Matsumoto, 1996 dalam Dayakisni, 2008)
menjelaskan bahwa primary effect ini juga berhubungan dengan pendidikan. Ia
membandingkan kelompok anak Moroccan antara yang sekolah dan yang tidak pernah
mendapat pendidikan. Hasilnya ialah primary effect cenderung lebih kuat pada
anak yang pernah mengenyam pendidikan.
Anugerah Tuhan yang begitu besar pada manusia barangkali
salah satunya adalah memori. Dengan memiliki memori, manusia bias mengingat
pengetahuan yang telah diperolehnya sehingga bias membangun peradabannya,
mengingat nama teman yang telah bertahun-tahun tidak bertemu lengkap dengan
tahi lalat didagunya dan juga tempat serta peristiwa dimana pertama kali
bertemu kekasih hati. Tetapi kadangkala kita juga merasa aneh ketika lupa
dimana menaruh kunci mobil yang baru sekitar beberapa menit lalu masih kita
pegang, atau lupa jawaban ujian yang sebenarnya tidak lebih sepuluh menit lalu
kit abaca dan kita masih ingat halamannya.
Memori sendiri adalah sebuah proses pengelolahan informasi
dalam kognitif yang meliputi pengkodean (encoding),
penyimpangan (strore), dan pemanggilan
kembali (retrieve) informasi.
Berdasar jangka waktunya, memori dibedakan atas memori jangka pendek yaitu
memori yang menyimpan informasi relative permanen meskipun kadang ada kesulitan
dalam memanggil kembali (Feldman, 1999).
Masalah memori ini menjaid menantang ketika dikaitkan dengan
perbedaan budaya. Apakah budaya yang berbeda mempengaruhi kemampuan, cara,
serta apa yang dimemori? Termasuk budaya yang berbeda mempengaruhi kemampuan
memori yang lebih baik daripada masyarakat yang sudah memiliki budaya baca
tulis (literate) karena mereka terbiasa harus mengingat segala informasi yang
ingin mereka ingat tanpa menuliskannya ataukah sebaliknya? Benarkah masyarakat
yang sudah memiliki budaya tulis lebih lemah memorinya karena terbiasa
menggunakan bantuan catatan dalam melakukan pengingatan?
Ross dan Millison (1970, dalam Matsumoto, 1996) menduga
bahwa tradisi oral membuat orang lebih baik dalam kemampuan daya ingat. Mereka
mendapatkan kesimpulan ini berdasarkan hasil penelitiannya yang membandingkan daya
ingat pelajar Amerika dengan menemukan bahwa secara umum remaja Ghania
mengingat isi cerita lebih baik daripada pelajar Amerika.
Cole selanjutnya membangun asumsi bahwa mengingat
informasi-informasi yang saling tidak terkait merupakan hal yang sulit bagi
individu yang tidak mendapat pendidikan dan sebaliknya tidak bagi yang pernah
mengeyam pendidikan. Hal ini dikarenakan di sekolah murid terbiasa untuk
mengingat huruf-huruf, berbadai macam data ataupun table, rumus-rumus dan
sebagainya yang sesungguhnya merupakan simbol-simbol abstrak (tidak memiliki
makna ketika dihubungkan dengan symbol lain, contohnya gabungan huruf-huruf
hingga menjadi sebuah kata). Scribner (1974, dalam Matsumoto, 1996) melakukan
penelitian pada subyek Afrika antara kelompok yang berpendidikan dengan
kelompok yang tidak pernah mendapat pendidikan. Hasilnya ternyata sangat
mendukung penelitian Cole, yaitu bahwa kelompok Afrika yang mendapat pendidikan
mempunyai kemampuan mengingat informasi acak sama baiknya dengan kelompok
responden Amerika. Sebaiknya kemampuan kelompok responden Arfika yang tidak
pernah mendapat pendidikan ternyata lebih rendah.
Salah satu aspek memori yang paling dikenal adalah apa yang
disebut Serial Position Effect.
Hipotesa ini menerangkan bahwa apa yang kita ingat lebih baik adalah bagian
pertama yang kit abaca(primacy effect)
atau yang kit abaca terakhir kali (recency
effect) dari daftar kata yang harus kita ingat. Menariknya, Cole dan
Scribner (1974, dalam Matsumoto, 1996) menemukan tidak adanya hubungan anatara
serial position dengan kemungkinan apa yang diingat dari penelitiannya pada
masyarakat Kpelle pedalaman Liberia.
Wagner (1980, dalam Matsumoto, 1996) berpendapat bahwa primacy effect tergantung pada
pengulangan dan strategi memori ini berhubungan dengan pendidikan. Wagner
membandingkan kelompok anak Moroccan antara yang sekolah dengan yang tidak
pernah sekolah dan menemukan bahwa primacy
effect cenderung sangat kuat terjadi pada anak-anak yang mendapat
pendidikan. Selanjutnya, Wagner membagi proses memoti atas dua macam, yaitu
hardware atau kemampuan dasar dari memori (The Basic Limitation of Memory)
yang tidak berubah dalam lintas budaya seperti tahap kemampuan memori pada anak
dan Software atau bahasa pemrograman-pemrograman bagian kita mengingat sesuatu
kemampuan ini dipelajari. Pada bagian pemrograman inilah peran pendidikan dan
budaya berpengaruh.
D.
BUDAYA
DAN PROBLEM SOLVING
Problem solving merupakan suatu proses dalam
usaha menemukan urutan yang benar dari alternative-alternative jawaban suatu masalah
dengan mengarah pada satu sasaran atau kea rah pemecahan yang ideal. Beberapa
asumsi menjelaskan bahwa kemampuan ini sangat tekait dengan faktor pendidikan
dan pengalaman termasuk pengalaman dengan lingkungan budaya tentunya. Namun
para psikolog telah mencoba memisahkah proses problem solving dan budaya dengan
meminta individu-individu dari berbagai latar budaya untuk memecahkan
permasalahan – permasalahan yang tidak familiar dalam kehidupan sehari-hari
mereka.
Salah satu penelitian yang mencoba memahami perbedaan problem solving dalam lintas budaya
adalah yang dilakukan Cole (1971). Ia mengambil subjek orang-orang dari Amerika
dan Liberia. Dalam penelitiannya, ia menggunakan sebuah piranti yang memiliki
beberapa banyak tombol, panel, dan lubang (stot). Untuk dapat membuka
piranti tersebut dan mendapat hadiah yang ada di dalamnya, para subyek harus
melakukan penggabungan dua prosedur, yang pertama yaitu menekan tombol yang
tepat untuk melepas sebuah kelerang dan kedua adalah memasukkan kelerang ke dalam
lubang yang tepat agar panel dapat terbuka sehingga pirantipun terbuka. Subyek
anak Amerika yang berusia di bawah 10 tahun ditemukan tidak mampu memecahkan
masalah ini dengan mudah. Namun problem solving ini dengan
sangat mudah. Sebaliknya hampir keseluruhan subyek Liberia, dan semua usia dan
latar belakang pendidikan, tampak mengalami kesulitan besar untuk menemukan
cara gan langkah yang tepat membuka piranti. Kesimpulan yang diambil berdasar
temuan ini adalah orang-orang Amerika memiliki kemampuan problem
solving yang lebih baik dibandingkan orang Liberia utamanya dalam
berpikir reasoning.
Penelitian ini mendapat kritik tajam dan dikatakan bias
budaya. Para subyek Amerika mampu mengerjakan permasalahan yang diberikan dalam
percobaan karena dalam kehidupan sehari-hari mereka telah terbiasa berhadapan
dan menggunakan mesin-mesin tersebut, seperti: remote control, computer,
mesin cuci dsb, sedangkan orang-orang Liberia tidak terbiasa berhadapan dengan
piranti semacam itu dalam kehidupannya. Alat yang digunakan dikatakan
memberikan keuntungan bagi orang Amerika dan member kecemasan tersendiri bagi
subjek Liberia.
Cole dan rekan-rekannya selanjutnya mengulang percobaan
dengan mengganti alat percobaan dengan sebuah kotak terkunci beserta
kunci-kuncinya. Kotak dan kunci dilihat kurang bias budaya karena orang-orang
Liberia juga sudah mengenai hal semacam ini bila dibandingkan dengan mesin
beserta tombol-tombolnya. Pemecahan masalah tetap dirancang dengan kombinasi
dua prosedur, yaitu subjek harus mengingat kotak-kotak kecil yang berisi kunci
yang tepat dengan kunci-kunci mana yang tepat untuk membuka lubang kunci yang
tepat. Hasil penelitian ternyata sangat berbeda dengan percobaan sebelumnya,
semua subyej baik dari Amerika maupun Liberia mampu menyelesaikan tugas yang
diberikan dengan waktu yang hampir sama atau dengan kata lain dengan sama
mudahnya.
Kesuksesan percobaan Cole ini masih dipertanyakan, percobaan
di atas meneliti kemampuan berpikir logis atau mengetes pengetahuan dan
pengalaman yang telah mereka miliki terkait dengan kotak-kota dan kunci. Guna
menjawab permasalahan ini Cole kembali mengadakan percobaan ketiga dengan
prosedur gabungan dan percobaan pertama dan kedua. Subyek diminta membuka kotak
dengan kunci-kunci yang kunci-kunci tersebut harus diambil dari piranti yang
tertutup. Untuk membuka piranti tersebut subyek harus menekan tombol yang
tepat, mengambil kelereng, dan memasukkan kelereng ke dalam percobaan pertama.
Subyek-subyek Liberia mengalami kesulitan untuk menyelesaikan masalah yang
diajukan.
Cole selanjutnya menarik kesimpulan baru bahwa kemampuan
orang Liberal untuk berpikir logis guna memecahkan suatu masalah sangat
tergantung konteks. Ketika masalah yang disajikan menggunakan material dan
konsep yang sudah mereka kenal, orang-orang Liberia berpikir logis sama baiknya
dengan orang-orang Amerika. Sebaliknya ketika masalah yang disajikan kurang
mereka kenal, mereka tampak mengalami kesulitan dari mana memulai langkah
pemecahan masalah. Namun tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa orang Liberia
memiliki kemampuan problem solving yang lebih rendah dibandingkan dengan orang
Amerika. Sangat mungkin, sebaliknya, orang-orang Amerika akan mengalami
kesulitan ketika masalah yang diajukan juga kurang mereka kenal namun sangat
dekat dengan orang-orang Liberia, misalnya: menelusuri jejak binatang dengan
menggunakan penciuman dan bekas jejak kakinya.
Tipe permasalahan lain yang diteliti dalam kaitan problem
solving dengan perbedaan budaya adalah kemampuan berpikir silogis
(vontoh: semua bocah suka permen, Siti masih kanak-kanak, apakah Siti menyukai
permen ?). dalam penelitiannya yang luas pada masyarakat di Asia Timur dan
Tengah yang dikatakan masih tribal (tradisional) dan nomaden (hidup
berpindah-pindah), Luria (1976) menemukan bahwa kemampuan berpikir silogis ini
lebih berkaitan secara signifikan dengan pendidikan dari pada dengan perbedaan
budaya. Subyek rata-rata kurang mampu memberikan jawaban yang benar ketika
diajukan pertanyaan silogis, namun pada subyek yang sudah pernah bersekolah
sekalipun hanya setahun dan juga dari komunitas yang sama (tinggal di desa
tersebut) ternyata sudah mampu memberikan jawaban yang benar. Dimana tingkat
kebenaran ini selaras (signifikan) dengan tingkat pendidikan.
Beberapa analisa coba diberikan untuk menjelaskan
ketidakmampuan orang yang tidak memiliki kemampuan baca tulis untuk menjawab
pertanyaan silogis. Luria menyakini bahwa orang-orang yang tidak memiliki
kemampuan baca tulis memiliki pola pikir yang berbeda dengan orang-orang yang
sudah mampu baca tulis. Kerangka pikir ini merupakan hasil belajar yang
dipelajari di sekolah. Mulai dari pengenalan huruf, menggambungkan dua huruf
menjadi suku kata, dan menggabungkan suku kata suku kata menjadi sebuah kata
merupakan dasar pola silogisme.
Kognitif diartikan sebagai kegiatan untuk memperoleh,
mengorganisasikan dan menggunakan pengetahuan. Dalam psikologi, kognitif adalah
referensi dari faktor-faktor yang mendasari sebuah prilaku. Kognitif juga
merupakan salah satu hal yang berusaha menjelaskan keunikan manusia. Pola pikir
dan perilaku manusia bertindak sebagi aspek fundamental dari setiap individu
yang tak lepas dari konsep kemanusiaan yang lebih besar, yaitu budaya sebagai
konstruksi sosial. Sedangkan kebudayaan (culture)
dalam arti luas merupakan kreativitas manusia (cipta, rasa dan karsa) dalam
rangka mempertahankan kelangsunganhidupnya. Manusia akan selalu melakukan
kreativitas (dalam arti luas) untuk memenuhi kebutuhannya (biologis, sosiolois,
psikologis) yang diseimbangkan dengan tantangan, ancaman, gangguan, hambatan
(AGHT) dari lingkungan alam dan sosialnya.
Ada berbagai hal yang berhubungan dengan keberadaan faktor
kognisi dalam pengaruhnya terhadap lintas budaya :
1.
Intelegensi
Umum
Menurut David Wechsler, inteligensi
adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan
menghadapi lingkungannya secara efektif. secara garis besar dapat disimpulkan
bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir
secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara
langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang
merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.
Sementara itu, Sartono Kartodirdjo
(dalam Kebudayaan Indis. 2011. Soekiman,Djoko) membagi masyarakat Hindia
Belanda berdasarkan pendidikannya. Perkembangan pendidikan dan pengajaran
menumbuhkan golongan ssosial baru yang mempunyai fungsi dan status baru, sesuai
dengan diferensiasi dan spesialisasi dalam bidang sosial ekonomi dan
pemerintahan.
Menurut Sartono, stratifikasi
masyarakat Hindia Belanda adalah :
·
Elite
birokrasi yang terdiri atas Pangreh Praja Eropa (Europees Binnenlands Bestuur)
dan Pangreh Praja Pribumi
·
Priyayi
Birokrasi termasuk Priyayi Ningrat,
·
Priyayi
Profesional (dibagi menjadi dua, ada priyayi gedhe dan priyayi cilik),
·
Golongan
Belanda dan Golongan Indo yang secara formal masuk status Eropa dan mempunyai
tendensi kuat untuk mengidentifikasi diri dengan pihak Eropa, dan
·
Orang
kecil (wong cilik) yang tinggal di kampung.
2.
Gaya
Kognitif
Dalam (Kebudayaan Indis.2011.
Soekiman, Djoko) menyebutkan aspek kognitif berhubungan dengan tingkat
perasaan, yang sangat sulit untuk dilukiskan dan diamati. Hal ini berkaitan
dengan berbagai aktivitas dan meliputi berbagai objek karena peneliti
mendapatkan struktur-struktur dasar yang komplek sehingga peneliti perlu
membatasi diri dan mempersempit garis besar permasalahan. Hal ini lebih sulit
diartikan karena justru gaya Indis berpangkal pada dua akar kebudayaan, yaitu
Belanda dan Jawa yang sangat jauh berbeda.
Untuk memahaminya perlu diketahui
adanya suatu pengertian situasi atau fenomena kekuasaan kolonial dalam segala
aspek dan proporsinya. Sebagai contoh, misalnya dalam hal membnagun rumah
tempat tinggal dengan susunan tata ruangnya. Arti simbolik suatu bagian ruang
rumah tinggal berhubu ngan dengan perilaku penghuninya. Pada suku Jawa,
misalnya, tidaak dikenal ruang khusus bagi keluarga dengan pembedaan umur,
jenis kelamin, generasi, famili, bahkan diantara anggota dan bukan anggota
penghuni rumah. Maka fungsi ruang tidak dipisahkan atau dibedakan dengan jelas.
Contoh lain yang sangat menarik
adalah keselarasaan sistem simbolik, khususnya gaya hidup. Betapa canggungnya
orang pribumi Jawa yang hidup secara tradisional di kampung, kemudian pindah
untuk bertempat tinggal di dalam rumah gedung di dalam blok atau kompleks
dengan suasana rumah bergaya Barat yang modern. Kelengkapan rumah tangga yang
serba asing, pembagian ruang-ruang di dalam rumah dengan fungsi yang khusus,
fungsi ruang secara terpisah (apart) untuk terjaminnya privilege atau privacy
penghuninya, semua itu menambah kecanggungan orang Pribumi untuk tinggal di
dalam rumah yang asing. Anggapan bahwa rumah adalah model alam mikrokossmos
menurut konsep pikiran Jawa dan sebagainya, tidak adapada alam pikiran Eropa.
Apakah rumah gaya Indis sebagai tempat tinggal baru diinterpretasikan dengan
pola konsep lama atau tradisional Jawa? Hal ini belum jelas.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa kognisi adalah istilah umum yang
mencakup seluruh proses mental yang mengubah masukan-masukan dari indera
menjadi pengetahuan (Matsumoto, 2008). Menurut Tri Dayakisni (2008) salah satu
proses dasar kognisi ialah pemberian kategori pada setiap benda atau obyek atas
dasar persamaan dan perbedaan karakternya. Proses-proses mental dari kognisi
mencakup persepsi, pemikiran rasional, dan seterusnya. Ada beberapa aspek
kognisi, yaitu kategorisasi (pengelompokkan), memori (ingatan) dan pemecahan
masalah (problem solving).
Salah satu proses dasar kognisi adalah cara bagaimana orang
melakukan kateorisasi. Kategorisasi dilakukan umumnya atas dasar
persamaan dan perbedaan karakter dari obyek-obyek dimaksud. Selain itu fungsi
dari obyek juga merupakan deterministic utama inidari proses kategorisasi.
Missal, ketika kita melakukan kategorisasi mengenai buku.
Ada bermacam-macam buku mulai dari buku cerita, buku tulis,
buku pelajaran hingga buku mewarnai untuk anak-anak. Semuanya kita masukkan
dalam kategorisasi karena kesamaan bentuknya dari fungsinya yaitu tempat
menuliskan sesuatu.
Memori ialah proses pengolahan informasi dalam kognitif yang
meliputi pengkodean, penyimpanan, pemanggilan kembali informasi-informasi
tersebut. Dalam hubungannya dalam penyimpanan dan pemanggilan kembali
informasi-informasi tersebut, memori dibedakan menjadi memori jangka pendek (short term memory) yang jangka waktu
menyimpan informasi tidak lebih dari 15-25 detik dan memori jangka panjang
(long term memory) atau memori yang menyimpan informasi relatif permanen
meskipun kadang ada kesulitan dalam memanggilnya kembali (Dayakisni, 2008)
Problem solving merupakan suatu proses dalam
usaha menemukan urutan yang benar dari alternative – alternative jawaban suatu
masalah dengan mengarah pada satu sasaran atau kea rah pemecahan yang ideal.
B.
SARAN
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu
penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Semoga isi dari makalah ini
bermanfaat bagi pembaca khususnya mahasiswa jurusan bimbingan dan konseling.
DAFTAR
PUSTAKA
Walgito, Bimo. 2004. Psikologi
Umum. Yogyakarta; Penerbit Andi.
Walgito, Bimo. 1999. Psikologi
Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta; Penerbit Andi.
www.mindscapecenter.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar