Selasa, 28 Juni 2016

budaya dan kognisi



BUDAYA DAN KOGNISI















 










OLEH
KELOMPOK III
                                    Nama                                      : Magis Laia
  Meniati Hia
  Nusiami Laia
                                    PRODI                                   : Bimbingan dan Konseling
                                    Matakuliah                            : BK Lintas Budaya
                                    Dosen Pengampu                  : Sesilianus Fau, M,Th.,M.Pd


Description: Logo STKIP Nisel WHITEE.jpg






SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP) NIAS SELATAN
2016
KATA PENGANTAR

            Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat dan kasih-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan judul: “budaya dan kognitif”.
            Dalam penyusunan makalah ini ini, kami banyak mendapatkan bantuan berupa masukan, arahan dan bimbingan serta kritik dan saran dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1.      Bapak Sesilianus Fau, M.Th.,M.Pd sebagai dosen pengampu matakuliah Bimbingan Konseling Lintas Budaya.
2.      Teman-teman mahasiswa yang telah membantu dalam memberikan masukan dan kritikan sehingga makalah inni dapat kami selesaikan.


                                                                                                Telukdalam,   Juni 2016
                                                                                                Penulis


                                                                                                Kelompok III





DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................i
DAFTAR ISI ............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................1
A.    Latar belakang ...............................................................................................................1
B.     Rumusan masalah ..........................................................................................................1
C.     Tujuan ............................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN .........................................................................................................2
A.    Pengertian lintas budaya ................................................................................................2
B.     Kognisi ..........................................................................................................................3
C.     Budaya dan memori .......................................................................................................5
D.    Budaya dan problem solving .........................................................................................7
BAB III PENUTUP ...............................................................................................................12
A.    Kesimpulan...................................................................................................................12
B.     Saran ............................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA














BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG
Sebagai makhluk yang dapat berpikir, manusia memiliki pola-pola tertentu dalam bertingkah laku. Tingkah laku ini menjadi sebuah jembatan bagi manusia untuk memasuki kondisi yang lebih maju. Pada hakikatnya, budaya tidak hanya membatasi masyarakat, tetapi juga eksistensi biologisnya, tidak hanya bagian dari kemanusiaan, tetapi struktur instingtifnya sendiri. Namun demikian, batasan tersebut merupakan prasyarat dari sebuah kemajuan.
Menurut Tri Dayakisni (2008) salah satu proses dasar kognisi ialah pemberian kategori pada setiap benda atau obyek atas dasar persamaan dan perbedaan karakternya. Selain kedua hal di atas, pemberian kategori juga biasanya didasarkan pada fungsi dari masing-masing objek tersebut. Proses-proses mental dari kognisi mencakup persepsi, pemikiran rasional, dan seterusnya. Ada beberapa aspek kognisi, yaitu kategorisasi (pengelompokan), memori (ingatan) dan pemecahan masalah (problem solving).

B.    RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini diantaranya yaitu :
1.      Pengertian lintas budaya?
2.      Apa itu kognisi?
3.      Apa itu budaya dan memori?
4.      Menjelaskan budaya dan problem solving?

C.    TUJUAN
1.      Untuk mengetahui pengertian lintas budaya
2.      Untuk mengetahui apa itu kognisi
3.      Untuk mengetahui apa itu budaya dan memori
4.      Untuk mengetahui menjelaskan budaya dan problem solving


BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA
Psikologi lintas budaya adalah kajian mengenai persamaan dan perbedaan dalam fungsi individu secara psikologis, dalam berbagai budaya dan kelompok etnik; mengenai hubungan-hubungan di antara budaya psikologis dan sosio-budaya, ekologis, dan ubahan biologis; serta mengenai perubahan-perubahan yang berlangsung dalam budaya-budaya tersebut. Sedangkan pendapat beberapa ahli, yaitu: Segall, Dasen dan Poortinga, psikologi lintas-budaya adalah kajian mengenai perilaku manusia dan penyebarannya, sekaligus memperhitungkan cara perilaku itu dibentuk dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan budaya.
Definisi ini mengarahkan perhatian pada dua hal pokok: keragaman perilaku manusia di dunia dan kaitan antara perilaku terjadi. Definisi ini relatif sederhana dan memunculkan banyak persoalan. Sejumlah definisi lain mengungkapkan beberapa segi baru dan menekankan beberapa kompleksitas: Riset lintas-budaya dalam psikologi adalah perbandingan sistematik dan eksplisit antara variabel psikologis di bawah kondisi-kondisi perbedaan budaya dengan maksud mengkhususkan antesede-anteseden dan proses-proses yang memerantarai kemunculan perbedaan perilaku.
Menurut Matsumoto, (2004) : Dalam arti luas, psikologi lintas budaya terkait dengan pemahaman atas apakah kebenaran dan prinsip-prinsip psikologis bersifat universal (berlaku bagi semua orang di semua budaya) ataukah khas budaya (culture spscific, berlaku bagi orang-orang tertentu di budaya-budaya tertentu)
Sedangkan Ruang Lingkup Psikologi Lintas Budaya dalam memahami tentang cabang ilmu psikologi lintas budaya yang dipelejari yaitu :
1.      Budaya dan Diri (Self)
2.      Persepsi
3.      Kognisi & Perkembangannya
4.      Psikologi Perkembangan
5.      Bahasa
6.      Emosi
7.      Psikologi Abnormal
8.      Psikologi Sosial

B.     KOGNISI
Kognisi adalah istilah umum yang mencakup seluruh proses mental yang mengubah masukan-masukan dari indera menjadi pengetahuan (Matsumoto, 2008). Menurut Tri Dayakisni (2008) salah satu proses dasar kognisi ialah pemberian kategori pada setiap benda atau obyek atas dasar persamaan dan perbedaan karakternya. Selain kedua hal di atas, pemberian kategori juga biasanya didasarkan pada fungsi dari masing-masing objek tersebut. Proses-proses mental dari kognisi mencakup persepsi, pemikiran rasional, dan seterusnya. Ada beberapa aspek kognisi, yaitu kategorisasi (pengelompokkan), memori (ingatan) dan pemecahan masalah (problem solving).
Salah satu proses dasar kognisi adalah cara bagaimana orang melakukan kateorisasi. Kategorisasi dilakukan umumnya atas dasar persamaan dan perbedaan karakter dari obyek-obyek dimaksud. Selain itu fungsi dari obyek juga merupakan deterministic utama inidari proses kategorisasi. Missal, ketika kita melakukan kategorisasi mengenai buku. Ada bermacam-macam buku mulai dari buku cerita, buku tulis, buku pelajaran hingga buku mewarnai untuk anak-anak. Semuanya kita masukkan dalam kategorisasi karena kesamaan bentuknya dari fungsinya yaitu tempat menuliskan sesuatu. Kertas tidak kita kategorisasikan ke dalam buku karena meskipun fungsinya bias dianggap sama namun dalam hal bentuk sangat berbeda. Buku tersusun atas banyak lembar kertas, sedang kertas tersusun atas satu lembar atau bias dihitung sejumlah jari tangan.
Seperti contoh kertas tadi, beberapa konsep psikologi juga berlangsung universal dalam kategorisasi. Contohnya, adalah kesepakatan dalam semua budaya akan masalah kategorisasi warna-warna apa yang digolongkan warna-warna apa yang digolongkan warna primer dan warna sekunder. Semua budaya tanpa melihat apakah budaya tersebut memiliki kosakata untuk berpuluh variasi warna ataupun hanya dua kosakata seperti suku di pedalaman. Papua yang hanya memiliki kosakata warna  gelap dan warna terang-ternyata tetap mampu melakukan penggolongan warna-warna dan diminta untuk menunjukkan kembali ternyata bias. Namun kesulitan biasanya terjadi ketika warna yang ditunjukkan adalah warna sekunder (campuran). Seorang Eskimo mampu membedakan gradasi warna es (warna putih bercampur warna lain) dengan namanya masing – masing. Bagi individu yang tidak hidup di lingkungan es tentunya akan kesulitan ketika yang ditunjukkan adalah warna sekunder dari putih.
Orang dengan latar budaya manapun juga cenderung melakukan kategorisasi bentuk benda (shapes) dalam kerangka bentuk-bentuk dasarnya, semacam, segitiga sama sisi, lingkaran, dan segi empat. Hal ini berbeda ketika kategorisasi dilakukan terhadap bentuk-bentuk geometris yang tidak beraturan. Penemuan dalam lintas budaya ini membuktikan bagaimana factor psikologis mempengaruhi pada bagaimana manusia melakukan kategorisasi stimulus dasar tertentu, dalam hal ini yang sudah terungkap adalah dalam bentuk, warna, dan ekspresi muka (Berry, 1999).
Namun demikian, beberapa penelitian juga telah membuktikan bagaimana budaya member pengaruh pada perbedaan proses kategorisasi. Contoh sederhananya, sekalipun apa yang dibuktikan pada perbedaan proses kategorisasi. Contoh sederhananya, sekalipun apa yang disebut kursi tampaknya semua budaya memiliki kesepakatan, namun terbuat dari apa yang biasa disebut kursi itu dan bagaimanabentuk kursi itu tampaknya perbedaan budaya member pengaruh di sini. Pada beberapa budaya, kursi umumnya terbuat dari bamboo, budaya yang lain mungkin kursi tersebut dari besi. Namun demikian, kursi panjang dari bamboo yang di Jawa disebut lincak mungkin saja tidak dikategorikan oleh budaya lain sebagai kursi tetapi sebagai bentuk lain dari tempat tidur.
Percobaan menarik dilakukan oleh Bruner dan Grenfield (1966), dalam Matsumoto, (1966) yang mendukung hipotesa adanya pengaruh budaya dalam proses kategorisasi oleh kognititif manusia. Pada para responden ditunjukkan beberapa gambar binatang dan beberapa lagi adalah gambar perlengkapan kerja. Mereka diminta melakukan kategorisasi beberapa lagi adalah gambar perlengkapan kerja. Mereka diminta melakukan kategorisasi terhadap gambar-gambar tersebut atas dasar perbedaan warna. Hal ini menjadikan kesimpulan awal harus ditinjau ulang, pasti ada sesuatu yang lebih dari kesedar penjelasan sederhana akan kematangan yang mempengaruhi adanya perbedaan dalam proses kategorisasi dari kedua komunitas yang mempengaruhi sesuatu yang lebih dari sekedar penjelasan sederhana akan kematangan yang mempengaruhi adanya perbedaan dalam proses kategorisasi dari kedua komunitas budaya tersebut.
Sejauh ini perbedaan di atas diasumsikan terhadi sebagai pengaruh tingkatan pendidikan Evans dan Segall (1969, dalam Matsumoto, 1996) melakukan penelitian di Uganda terhadap anak dan orang dewasa penduduk setempat. Beberapa diantara responden anak maupun dewasa memiliki pendidikan yang cukup baik sedangkan yang lain tidak mengenyam pendidikan. Hasilnya ditemukan bahwa tidak ada perbedaan, sebagaimana percobaan Greenfield, antara responden dewasa yang tidak memperoleh pendidikan dengan responden anak-anak baik yang sekolah maupun yang tidak. Sebaliknya ada perbedaan dasar kategorisasi antara responden dewasa yang memperoleh pendidikan dengan anak- anak baik yang sekolah maupun yang tidak. Hasil ini menunjukkan bahwa anak-anak baik yang sekolah maupun yang tidak. Hasil ini menunjukkan bahwa anak-anak melakukan kategorisasi atas dasar  yang lebih kompleks.

C.    BUDAYA DAN MEMORI
Memori ialah proses pengolahan informasi dalam kognitif yang meliputi pengkodean, penyimpanan, pemanggilan kembali informasi-informasi tersebut. Dalam hubungannya dalam penyimpanan dan pemanggilan kembali informasi-informasi tersebut, memori dibedakan menjadi memori jangka pendek (short term memory) yang jangka waktu menyimpan informasi tidak lebih dari 15-25 detik dan memori jangka panjang (long term memory) atau memori yang menyimpan informasi relatif permanen meskipun kadang ada kesulitan dalam memanggilnya kembali (Dayakisni, 2008)
Ross dan Millson (Matsumoto dalam Dayakisni, 2008) melakukan sebuah penelitian dengan membandingkan daya ingat pelajar Amerika dan pelajar Ghania. Mereka menduga bahwa tradisi oral membuat orang lebih baik dalam kemampuan daya ingatnya. Penelitian mereka ini ialah dengan membacakan cerita dengan suara yang keras dan membandingkan bahwa pelajar Ghania secara umum dapat mengingat isi cerita lebih baik daripada pelajar Amerika. Masih dalam Matsumoto (1996), Cole (1971) menemukan hal lain bahwa sekalipun masyarakat non-literate dapat mengingat isi cerita lebih baik namun kemampuan mereka dalam mengingat daftar kata cenderung lebih lama.
Serial Position Effect merupakan salah satu aspek memori yang paling dikenal karena pada hipotesa ini juga menerangkan bahwa seorang individu akan mampu mengingat lebih baik bagian pertama yang dibaca (primary effect) atau bacaan terakhir dari daftar kata yang harus diingat (recency effect). Meskipun demikian Wagner (dalam Matsumoto, 1996 dalam Dayakisni, 2008) menjelaskan bahwa primary effect ini juga berhubungan dengan pendidikan. Ia membandingkan kelompok anak Moroccan antara yang sekolah dan yang tidak pernah mendapat pendidikan. Hasilnya ialah primary effect cenderung lebih kuat pada anak yang pernah mengenyam pendidikan.
Anugerah Tuhan yang begitu besar pada manusia barangkali salah satunya adalah memori. Dengan memiliki memori, manusia bias mengingat pengetahuan yang telah diperolehnya sehingga bias membangun peradabannya, mengingat nama teman yang telah bertahun-tahun tidak bertemu lengkap dengan tahi lalat didagunya dan juga tempat serta peristiwa dimana pertama kali bertemu kekasih hati. Tetapi kadangkala kita juga merasa aneh ketika lupa dimana menaruh kunci mobil yang baru sekitar beberapa menit lalu masih kita pegang, atau lupa jawaban ujian yang sebenarnya tidak lebih sepuluh menit lalu kit abaca dan kita masih ingat halamannya.
Memori sendiri adalah sebuah proses pengelolahan informasi dalam kognitif yang meliputi pengkodean (encoding), penyimpangan (strore), dan pemanggilan kembali (retrieve) informasi. Berdasar jangka waktunya, memori dibedakan atas memori jangka pendek yaitu memori yang menyimpan informasi relative permanen meskipun kadang ada kesulitan dalam memanggil kembali (Feldman, 1999).
Masalah memori ini menjaid menantang ketika dikaitkan dengan perbedaan budaya. Apakah budaya yang berbeda mempengaruhi kemampuan, cara, serta apa yang dimemori? Termasuk budaya yang berbeda mempengaruhi kemampuan memori yang lebih baik daripada masyarakat yang sudah memiliki budaya baca tulis (literate) karena mereka terbiasa harus mengingat segala informasi yang ingin mereka ingat tanpa menuliskannya ataukah sebaliknya? Benarkah masyarakat yang sudah memiliki budaya tulis lebih lemah memorinya karena terbiasa menggunakan bantuan catatan dalam melakukan pengingatan?
Ross dan Millison (1970, dalam Matsumoto, 1996) menduga bahwa tradisi oral membuat orang lebih baik dalam kemampuan daya ingat. Mereka mendapatkan kesimpulan ini berdasarkan hasil penelitiannya yang membandingkan daya ingat pelajar Amerika dengan menemukan bahwa secara umum remaja Ghania mengingat isi cerita lebih baik daripada pelajar Amerika.
Cole selanjutnya membangun asumsi bahwa mengingat informasi-informasi yang saling tidak terkait merupakan hal yang sulit bagi individu yang tidak mendapat pendidikan dan sebaliknya tidak bagi yang pernah mengeyam pendidikan. Hal ini dikarenakan di sekolah murid terbiasa untuk mengingat huruf-huruf, berbadai macam data ataupun table, rumus-rumus dan sebagainya yang sesungguhnya merupakan simbol-simbol abstrak (tidak memiliki makna ketika dihubungkan dengan symbol lain, contohnya gabungan huruf-huruf hingga menjadi sebuah kata). Scribner (1974, dalam Matsumoto, 1996) melakukan penelitian pada subyek Afrika antara kelompok yang berpendidikan dengan kelompok yang tidak pernah mendapat pendidikan. Hasilnya ternyata sangat mendukung penelitian Cole, yaitu bahwa kelompok Afrika yang mendapat pendidikan mempunyai kemampuan mengingat informasi acak sama baiknya dengan kelompok responden Amerika. Sebaiknya kemampuan kelompok responden Arfika yang tidak pernah mendapat pendidikan ternyata lebih rendah.
Salah satu aspek memori yang paling dikenal adalah apa yang disebut Serial Position Effect. Hipotesa ini menerangkan bahwa apa yang kita ingat lebih baik adalah bagian pertama yang kit abaca(primacy effect) atau yang kit abaca terakhir kali (recency effect) dari daftar kata yang harus kita ingat. Menariknya, Cole dan Scribner (1974, dalam Matsumoto, 1996) menemukan tidak adanya hubungan anatara serial position dengan kemungkinan apa yang diingat dari penelitiannya pada masyarakat Kpelle pedalaman Liberia.
Wagner (1980, dalam Matsumoto, 1996) berpendapat bahwa primacy effect tergantung pada pengulangan dan strategi memori ini berhubungan dengan pendidikan. Wagner membandingkan kelompok anak Moroccan antara yang sekolah dengan yang tidak pernah sekolah dan menemukan bahwa primacy effect cenderung sangat kuat terjadi pada anak-anak yang mendapat pendidikan. Selanjutnya, Wagner membagi proses memoti atas dua macam, yaitu hardware atau kemampuan dasar dari memori (The Basic Limitation of Memory) yang tidak berubah dalam lintas budaya seperti tahap kemampuan memori pada anak dan Software atau bahasa pemrograman-pemrograman bagian kita mengingat sesuatu kemampuan ini dipelajari. Pada bagian pemrograman inilah peran pendidikan dan budaya berpengaruh.

D.    BUDAYA DAN PROBLEM SOLVING
Problem solving merupakan suatu proses dalam usaha menemukan urutan yang benar dari alternative-alternative jawaban suatu masalah dengan mengarah pada satu sasaran atau kea rah pemecahan yang ideal. Beberapa asumsi menjelaskan bahwa kemampuan ini sangat tekait dengan faktor pendidikan dan pengalaman termasuk pengalaman dengan lingkungan budaya tentunya. Namun para psikolog telah mencoba memisahkah proses problem solving dan budaya dengan meminta individu-individu dari berbagai latar budaya untuk memecahkan permasalahan – permasalahan yang tidak familiar dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Salah satu penelitian yang mencoba memahami perbedaan problem solving dalam lintas budaya adalah yang dilakukan Cole (1971). Ia mengambil subjek orang-orang dari Amerika dan Liberia. Dalam penelitiannya, ia menggunakan sebuah piranti yang memiliki beberapa banyak tombol, panel, dan lubang (stot). Untuk dapat membuka piranti tersebut dan mendapat hadiah yang ada di dalamnya, para subyek harus melakukan penggabungan dua prosedur, yang pertama yaitu menekan tombol yang tepat untuk melepas sebuah kelerang dan kedua adalah memasukkan kelerang ke dalam lubang yang tepat agar panel dapat terbuka sehingga pirantipun terbuka. Subyek anak Amerika yang berusia di bawah 10 tahun ditemukan tidak mampu memecahkan masalah ini dengan mudah. Namun problem solving ini dengan sangat mudah. Sebaliknya hampir keseluruhan subyek Liberia, dan semua usia dan latar belakang pendidikan, tampak mengalami kesulitan besar untuk menemukan cara gan langkah yang tepat membuka piranti. Kesimpulan yang diambil berdasar temuan ini adalah orang-orang Amerika memiliki kemampuan problem solving yang lebih baik dibandingkan orang Liberia utamanya dalam berpikir reasoning.
Penelitian ini mendapat kritik tajam dan dikatakan bias budaya. Para subyek Amerika mampu mengerjakan permasalahan yang diberikan dalam percobaan karena dalam kehidupan sehari-hari mereka telah terbiasa berhadapan dan menggunakan mesin-mesin tersebut, seperti: remote control, computer, mesin cuci dsb, sedangkan orang-orang Liberia tidak terbiasa berhadapan dengan piranti semacam itu dalam kehidupannya. Alat yang digunakan dikatakan memberikan keuntungan bagi orang Amerika dan member kecemasan tersendiri bagi subjek Liberia.
Cole dan rekan-rekannya selanjutnya mengulang percobaan dengan mengganti alat percobaan dengan sebuah kotak terkunci beserta kunci-kuncinya. Kotak dan kunci dilihat kurang bias budaya karena orang-orang Liberia juga sudah mengenai hal semacam ini bila dibandingkan dengan mesin beserta tombol-tombolnya. Pemecahan masalah tetap dirancang dengan kombinasi dua prosedur, yaitu subjek harus mengingat kotak-kotak kecil yang berisi kunci yang tepat dengan kunci-kunci mana yang tepat untuk membuka lubang kunci yang tepat. Hasil penelitian ternyata sangat berbeda dengan percobaan sebelumnya, semua subyej baik dari Amerika maupun Liberia mampu menyelesaikan tugas yang diberikan dengan waktu yang hampir sama atau dengan kata lain dengan sama mudahnya.
Kesuksesan percobaan Cole ini masih dipertanyakan, percobaan di atas meneliti kemampuan berpikir logis atau mengetes pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka miliki terkait dengan kotak-kota dan kunci. Guna menjawab permasalahan ini Cole kembali mengadakan percobaan ketiga dengan prosedur gabungan dan percobaan pertama dan kedua. Subyek diminta membuka kotak dengan kunci-kunci yang kunci-kunci tersebut harus diambil dari piranti yang tertutup. Untuk membuka piranti tersebut subyek harus menekan tombol yang tepat, mengambil kelereng, dan memasukkan kelereng ke dalam percobaan pertama. Subyek-subyek Liberia mengalami kesulitan untuk menyelesaikan masalah yang diajukan.
Cole selanjutnya menarik kesimpulan baru bahwa kemampuan orang Liberal untuk berpikir logis guna memecahkan suatu masalah sangat tergantung konteks. Ketika masalah yang disajikan menggunakan material dan konsep yang sudah mereka kenal, orang-orang Liberia berpikir logis sama baiknya dengan orang-orang Amerika. Sebaliknya ketika masalah yang disajikan kurang mereka kenal, mereka tampak mengalami kesulitan dari mana memulai langkah pemecahan masalah. Namun tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa orang Liberia memiliki kemampuan problem solving yang lebih rendah dibandingkan dengan orang Amerika. Sangat mungkin, sebaliknya, orang-orang Amerika akan mengalami kesulitan ketika masalah yang diajukan juga kurang mereka kenal namun sangat dekat dengan orang-orang Liberia, misalnya: menelusuri jejak binatang dengan menggunakan penciuman dan bekas jejak kakinya.
Tipe permasalahan lain yang diteliti dalam kaitan problem solving dengan perbedaan budaya adalah kemampuan berpikir silogis (vontoh: semua bocah suka permen, Siti masih kanak-kanak, apakah Siti menyukai permen ?). dalam penelitiannya yang luas pada masyarakat di Asia Timur dan Tengah yang dikatakan masih tribal (tradisional) dan nomaden (hidup berpindah-pindah), Luria (1976) menemukan bahwa kemampuan berpikir silogis ini lebih berkaitan secara signifikan dengan pendidikan dari pada dengan perbedaan budaya. Subyek rata-rata kurang mampu memberikan jawaban yang benar ketika diajukan pertanyaan silogis, namun pada subyek yang sudah pernah bersekolah sekalipun hanya setahun dan juga dari komunitas yang sama (tinggal di desa tersebut) ternyata sudah mampu memberikan jawaban yang benar. Dimana tingkat kebenaran ini selaras (signifikan) dengan tingkat pendidikan.
Beberapa analisa coba diberikan untuk menjelaskan ketidakmampuan orang yang tidak memiliki kemampuan baca tulis untuk menjawab pertanyaan silogis. Luria menyakini bahwa orang-orang yang tidak memiliki kemampuan baca tulis memiliki pola pikir yang berbeda dengan orang-orang yang sudah mampu baca tulis. Kerangka pikir ini merupakan hasil belajar yang dipelajari di sekolah. Mulai dari pengenalan huruf, menggambungkan dua huruf menjadi suku kata, dan menggabungkan suku kata suku kata menjadi sebuah kata merupakan dasar pola silogisme.
Kognitif diartikan sebagai kegiatan untuk memperoleh, mengorganisasikan dan menggunakan pengetahuan. Dalam psikologi, kognitif adalah referensi dari faktor-faktor yang mendasari sebuah prilaku. Kognitif juga merupakan salah satu hal yang berusaha menjelaskan keunikan manusia. Pola pikir dan perilaku manusia bertindak sebagi aspek fundamental dari setiap individu yang tak lepas dari konsep kemanusiaan yang lebih besar, yaitu budaya sebagai konstruksi sosial. Sedangkan kebudayaan (culture) dalam arti luas merupakan kreativitas manusia (cipta, rasa dan karsa) dalam rangka mempertahankan kelangsunganhidupnya. Manusia akan selalu melakukan kreativitas (dalam arti luas) untuk memenuhi kebutuhannya (biologis, sosiolois, psikologis) yang diseimbangkan dengan tantangan, ancaman, gangguan, hambatan (AGHT) dari lingkungan alam dan sosialnya.
Ada berbagai hal yang berhubungan dengan keberadaan faktor kognisi dalam pengaruhnya terhadap lintas budaya :
1.      Intelegensi Umum
Menurut David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.
Sementara itu, Sartono Kartodirdjo (dalam Kebudayaan Indis. 2011. Soekiman,Djoko) membagi masyarakat Hindia Belanda berdasarkan pendidikannya. Perkembangan pendidikan dan pengajaran menumbuhkan golongan ssosial baru yang mempunyai fungsi dan status baru, sesuai dengan diferensiasi dan spesialisasi dalam bidang sosial ekonomi dan pemerintahan.
Menurut Sartono, stratifikasi masyarakat Hindia Belanda adalah :
·         Elite birokrasi yang terdiri atas Pangreh Praja Eropa (Europees Binnenlands Bestuur) dan Pangreh Praja Pribumi
·         Priyayi Birokrasi termasuk Priyayi Ningrat,
·         Priyayi Profesional (dibagi menjadi dua, ada priyayi gedhe dan priyayi cilik),
·         Golongan Belanda dan Golongan Indo yang secara formal masuk status Eropa dan mempunyai tendensi kuat untuk mengidentifikasi diri dengan pihak Eropa, dan
·         Orang kecil (wong cilik) yang tinggal di kampung.

2.      Gaya Kognitif
Dalam (Kebudayaan Indis.2011. Soekiman, Djoko) menyebutkan aspek kognitif berhubungan dengan tingkat perasaan, yang sangat sulit untuk dilukiskan dan diamati. Hal ini berkaitan dengan berbagai aktivitas dan meliputi berbagai objek karena peneliti mendapatkan struktur-struktur dasar yang komplek sehingga peneliti perlu membatasi diri dan mempersempit garis besar permasalahan. Hal ini lebih sulit diartikan karena justru gaya Indis berpangkal pada dua akar kebudayaan, yaitu Belanda dan Jawa yang sangat jauh berbeda.
Untuk memahaminya perlu diketahui adanya suatu pengertian situasi atau fenomena kekuasaan kolonial dalam segala aspek dan proporsinya. Sebagai contoh, misalnya dalam hal membnagun rumah tempat tinggal dengan susunan tata ruangnya. Arti simbolik suatu bagian ruang rumah tinggal berhubu ngan dengan perilaku penghuninya. Pada suku Jawa, misalnya, tidaak dikenal ruang khusus bagi keluarga dengan pembedaan umur, jenis kelamin, generasi, famili, bahkan diantara anggota dan bukan anggota penghuni rumah. Maka fungsi ruang tidak dipisahkan atau dibedakan dengan jelas.
Contoh lain yang sangat menarik adalah keselarasaan sistem simbolik, khususnya gaya hidup. Betapa canggungnya orang pribumi Jawa yang hidup secara tradisional di kampung, kemudian pindah untuk bertempat tinggal di dalam rumah gedung di dalam blok atau kompleks dengan suasana rumah bergaya Barat yang modern. Kelengkapan rumah tangga yang serba asing, pembagian ruang-ruang di dalam rumah dengan fungsi yang khusus, fungsi ruang secara terpisah (apart) untuk terjaminnya privilege atau privacy penghuninya, semua itu menambah kecanggungan orang Pribumi untuk tinggal di dalam rumah yang asing. Anggapan bahwa rumah adalah model alam mikrokossmos menurut konsep pikiran Jawa dan sebagainya, tidak adapada alam pikiran Eropa. Apakah rumah gaya Indis sebagai tempat tinggal baru diinterpretasikan dengan pola konsep lama atau tradisional Jawa? Hal ini belum jelas.










BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kognisi adalah istilah umum yang mencakup seluruh proses mental yang mengubah masukan-masukan dari indera menjadi pengetahuan (Matsumoto, 2008). Menurut Tri Dayakisni (2008) salah satu proses dasar kognisi ialah pemberian kategori pada setiap benda atau obyek atas dasar persamaan dan perbedaan karakternya. Proses-proses mental dari kognisi mencakup persepsi, pemikiran rasional, dan seterusnya. Ada beberapa aspek kognisi, yaitu kategorisasi (pengelompokkan), memori (ingatan) dan pemecahan masalah (problem solving).
Salah satu proses dasar kognisi adalah cara bagaimana orang melakukan kateorisasi. Kategorisasi dilakukan umumnya atas dasar  persamaan dan perbedaan karakter dari obyek-obyek dimaksud. Selain itu fungsi dari obyek juga merupakan deterministic utama inidari proses kategorisasi. Missal, ketika kita melakukan kategorisasi mengenai buku.
Ada bermacam-macam buku mulai dari buku cerita, buku tulis, buku pelajaran hingga buku mewarnai untuk anak-anak. Semuanya kita masukkan dalam kategorisasi karena kesamaan bentuknya dari fungsinya yaitu tempat menuliskan sesuatu.
Memori ialah proses pengolahan informasi dalam kognitif yang meliputi pengkodean, penyimpanan, pemanggilan kembali informasi-informasi tersebut. Dalam hubungannya dalam penyimpanan dan pemanggilan kembali informasi-informasi tersebut, memori dibedakan menjadi memori jangka pendek (short term memory) yang jangka waktu menyimpan informasi tidak lebih dari 15-25 detik dan memori jangka panjang (long term memory) atau memori yang menyimpan informasi relatif permanen meskipun kadang ada kesulitan dalam memanggilnya kembali (Dayakisni, 2008)
Problem solving merupakan suatu proses dalam usaha menemukan urutan yang benar dari alternative – alternative jawaban suatu masalah dengan mengarah pada satu sasaran atau kea rah pemecahan yang ideal.

B.     SARAN
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Semoga isi dari makalah ini bermanfaat bagi pembaca khususnya mahasiswa jurusan bimbingan dan konseling.

DAFTAR PUSTAKA

Walgito, Bimo. 2004. Psikologi Umum. Yogyakarta; Penerbit Andi.
Walgito, Bimo. 1999. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta; Penerbit Andi.
www.mindscapecenter.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar