Kamis, 29 Desember 2016

AGAMA DAN FILSAFAT ILMU

AGAMA DAN FILSAFAT ILMU
 






OLEH:

KELOMPOK VII

Nama                                      :1. Novretman Duha
 2. Aprianis Zagoto
 3. Nemisia Laia
 4. Ringan Hati Sarumaha
 5. Festifal M. Harita
Prodi                                       : Bimbingan dan Konseling
Semester                                 : V
Matakuliah                            : Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu                  : Sesilianus Fau, M.Th., MP.d



Logo STKIP Nisel WHITEE.jpg









SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP) NIAS SELATAN
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

TAHUN 2016


KATA PENGANTAR

            Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat dan kasih-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan judul: “Agama dan Filsafat Ilmu”.
            Dalam penyusunan makalah ini ini, kami banyak mendapatkan bantuan berupa masukan, arahan dan bimbingan serta kritik dan saran yang konstruktif dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1.      Bapak Sesilianus Fau, M.Th.,M.Pd  sebagai dosen pengampu matakuliah Filsafaf Ilmu
2.      Teman-teman mahasiswa yang telah membantu dalam memberikan masukan dan kritikan sehingga makalah ini dapat kami selesaikan.


                                                                                                                                Telukdalam,   Desember 2016
                                                                                                Penulis


                                                                                                Kelompok VII


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………………...       i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………...      ii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………...       1
A.    Latar Belakang ……………………………………………………………...      1
B.     Rumusan Masalah …………………………………………………………..      2
C.     Tujuan ……………………………………………………………………….     2
BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………………………     4
A.    Pengertian Filsafat, Agama, dan Ilmu ………………………………………     4
B.     Manusia, Ilmu, dan Teologi ………………………………………………...      6
C.     Relasi Filsafat, Agama, dan Ilmu …………………………………………...     8
D.    Agama dan Pemikiran ………………………………………………………      12
E.     Ilmu dan Agama DalamPerselingkuhan …………………………………….     13
BAB III PENUTUP ……………………………………………………………………      16
A.    Kesimpulan ………………………………………………………………….     16
B.     Saran ………………………………………………………………………...     17
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Manusia adalah makhluk Tuhan yang diberi akal dan hati. Manusia dalam kehidupanya melalui  berbagai proses kehidupan yang mesti di hadapi, dilihat, serta dilalui dalam mencari kehidupan serta kedudukan sebagai manusia yang berdaya. Dengan demikian manusia berusaha berpikir, belajar, mencari jalan, mencari tahu tentang proses kehidupanya itu dengan berbagai cara atau metode yang ia mampu hingga mendapatkan sesuatu hal atau pengetahuan akan proses kehidupanya tersebut. Hal ini sesuai dengan menurut Suwardi, (2012:1-2) menyatakan:
“Sebagai filsuf, manusia memiliki sifat ingin tahu terhadap segala sesuatu. Sesuatu yang ingin diketahui manusia tersebut disebut pengetahuan. Pengetahuan selalu membuat penasaran. Pengetahuan manusia penuh teka-teki. Dalam perhatian filsuf, pengetahuan dibedakan menjadi 4 yaitu (1). Pengetahuan indra, artinya pengetahuan hasil daya tarik indra manusia. Termasuk didalamnya hasil daya tangkap indra keenam manusia, (2). Pengetahuan ilmiah, artinya pengetahuan diciptakan secara sistematis, melalui proses berpikir, koheren, transparan, dan akurat, (3). Pengetahuan filsafat, artinya pengetahuan yang didapat melalui olah pikir, dan ke (4) pengetahuan agama, artinya pengetahuan yang diperoleh atas dasar doktrin”.

Kemudian manusia dengan pengetahuan yang ia peroleh atau yang ia ketahui dan alami tersebut, manusia akan mulai berpikir dan akan mencari sebab-sebab dari setiap kejadian yang disaksikannya dan dialaminya. Dia tidak pernah menganggap bahwa sesuatu mungkin terwujud atau terjadi dengan sendirinya secara kebetulan saja, tanpa sebab. Sebagai makhluk yang berakal, manusia selalu diliputi oleh hasrat ingin tahu (Sabarti Akhadiah dkk, 2011:102). Manusia dengan pengetahuan tentang akan diri dan kehidupanya, maka ia akan berjalan dan berpikir lebih luas lagi tentang diluar dirinya. Dengan hasrat ingin tahu dan ketertarikan yang bersifat instinktif  maka manusia akan menyelidiki, mencari tahu bagaimana benda-benda di alam ini muncul, dan menyelidiki ketertibannya yang mengagumkan. Manusia akan dipaksa untuk bertanya “ Apakah alam semesta ini, dengan seluruh bagiannya yang saling berkaitan yang benar-benar membentuk satu kesatuan sistem yang besar itu, terwujud dengan sendirinya, ataukah ia memperoleh wujudnya dari sesuatu yang lain?” hingga ia menemukan suatu kebenaran lewat indrawinya. Namun, suatu kebenaran tersebut ia yang peroleh kadang berseberangan dengan pengetahuan yang diperoleh orang lain hingga pada akhirnya menimbulkan suatu pertentangan asumsi suatu hal tentang suatu sitem kebenaran.
Dengan berbagai fenomena yang terjadi tersebut maka dalam makalah ini penulis berusaha mencoba menjelaskan secara sederhana mengenai agama dan filsafat ilmu. Dimana dalam makalah ini penulis berusaha memecahkan berbagai permasalah tentang manusia, ilmu dan teologi, bagaimana relasi antara filsafat, agama dan ilmu, agama dan pemikiran, serta ilmu dan agama dalam perselingkuhan.

B.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatasmaka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini yakni:
1.      Apa yang dimaksud dengan filsafat, agama, dan ilmu?
2.      Bagaimana antara manusia, ilmu, dan teologi?
3.      Bagaimana relasi filsafat, agama dan ilmu?
4.      Bagaimana tentang agama dan pemikiran manusia?
5.      Bagaimana tentang suatu ilmu dan agama dalam perselingkuhan?

C.    Tujuan
Bertitik tolak pada latar belakang dan rumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuan makalah ini yaitu:
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan filsafat, agama, dan ilmu.
2.      Untuk mengetahui bagaimana antara manusia, ilmu, dan teologi.
3.      Untuk mengetahui bagaimana relasi filsafat, agama dan ilmu.
4.      Untuk mengetahui bagaimana tentang agama dan pemikiran manusia.
5.      Untuk mengetahui bagaimana tentang suatu ilmu dan agama dalam perselingkuhan.




















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Filsafat, Agama, Dan Ilmu
1.      Pengertian filsafat
Secara etimologi filsafat berasal dari bahasa Yunani kuno yang terdiri dari dua suku kata yaitu “philos” yang artinya cinta, dan “shopia” yang artinya kebijaksanaan. Dari dua suku kata tersebut dapat disimpulkan bahawa filsafat adalah orang yangt cinta akan kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat dapat dikatakan berpikir yang sangat mendalam, sampai pada hakikat, atau berpikir secara universal, hingga pada akar-akarnya, yang murni sampai menemukan kebenaran yang hakiki.
Menurut Plato dalam Suhar, (2010:9), filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli. Selanjutnya filsafat adalah pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika atau menyelidiki sebab dan asal segala benda (Aristoeles dalam Suhar, 2010:9).
Dari beberpa pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah berpikir secara universal hingga mencapai suatu kebenaran yang hakiki, logika, estetika, etika, retorika, ekonomi, dan politik dengan jalan menyelidiki segala sesuatu yang ada dan dengan metode yang ilmiah dan empiris.
2.      Penegertian agama
Secara etimologi kata “agama” berasal dari bahasa sansekerta yang artinya “tradisi”. Selanjutnya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama adalah system yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang  berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkunganya. Menurut Emile Durkheim dalam http://www.e-jurnal.com/2013/11/pengertian-agama-menurut-para-ahli.html, agama adalah  suatub system yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Selanjutnya dikemukakan oleh Sutan Takdir Alisyahbana dalam http://www.e-jurnal.com/2013/11/pengertian-agama-menurut-para-ahli.html bahwa agama adalah suatu system kelakukan dan perhubungan manusia yang pokok pada perhubungan manusia dengan rahasia kekuasaan dan keajaiban yang tiada terhingga luasnya, dan dengan demikian member arti kepada hidupnya dan kepada alam semesta yang mengelilinya.
Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa agama adalah siatu system keyakinan, ibadah dan kepercayaan atau keimanan manusia terhadap kehidupanya, hubunganya dengan Tuhanya, manusia dengan sesamanya, dan hubunganya dengan lingkungan sekitarnya atau alamnya.
3.      Pengertian ilmu
Ilmu adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu scientia yang berarti ilmu. Atau dalam kaidah bahasa Arab berasal dari kata ’ilm yang berarti pengetahuan. Ilmu atau pengetahuan adalah pengkajian sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang terbukti dengan fakta-fakta dan ditinjau yang disusun secara sistematis dan terbentukmenjadihukum-hukum umum. Ilmu akan melahirkan kaidah-kaidah umum, yang dapat diterima oleh semua pihak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ilmu merupakan pengetahuan tentang sesuatu yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu dibidang pengetahuan .itu.
Selanjutnya menurut Suwardi, (2012:157) ilmu adalah pengetahuan yang dirumuskan secara sistematis, dapat diterima oleh akal melalui pembuktian-pembuktian empiris. Ilmu merupakan sebagai pelukisan fakta-fakta, pengalaman secara lengkap dan konsisten meski dalam perwujudan istilah yang sangat sederhana (Athur Thomson dalam Suwardi, 2012:132).
Dari  beberapa pengertian tentang ilmu diatas maka dapat dikatakan bahwasanya ilmu itu merupakan suatu ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan  berbagai fakta-fakta yang empiris, sistematis dalam menerangkan segala sesuatu gejala tertentu dibidang pengetahuan itu sendiri.
Dari beberapa pengertian filsafat, agama, dan ilmu diatas pemahamanya sangat saling berkaitan satu dengan yang lain dimana tujuanya untuk memperoleh suatu yang benar sampai mencapai hakikatnya meskipun pelaksanaanya dilakukan dengan cara yang berbeda-beda.

B.     Manusia, Ilmu, dan Teologi
Manusia dalam kehidupanya yang mencari tahu, menyelidiki, menanyakan segala sesuatu yang dialaminya, dilihatnya serta merasa penasaran terhadap alam semesta yang mengelilinginya hingga memperoleh suatu ilmu pengetahuan yang dianggap dapat memberikan pencerahan akan kehidupanya. Namun manusia yang telah menguasai ilmu pengetahuan sering berseberangan dengan teologi. Sebagian orang berpretensi, ilmu itu akan memberikan pencerahan, sedangkan teologi memberikan jalan hidup. Manusia menguasai ilmu adalah konsumsi pikiran. Manusia menguasai teologi, yaitu ilmu ketuhan, adalah konsumsi keyakinan. Keyakinan, melibatkan pemikiran, rasa, dan angan-angan. Dalam konteks ini, manusia menguasai ilmu dan agama sering berbenturan dalam nalar pikiranya. Oleh karena itu ilmu dan agama memang memilikipilar yang tidak selalu sama. Ilmun itu selalu mendasarkan akal, sedangkan agama berdasarkan keyakinan (Suwardi, 2012:264).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “teologi” merupakan pengetahuan ketuhanan (mengenai sifat Allah, dasar kepercayaan kepada Allah dan agama terutama berdasarkan pada kitab suci. Kemudian menurut Suwardi. (2012:146) teologi adalah pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan berdasarkan iman. Bahkan  ada yang berpendapat, menganut agama tanpa ilmu di anggapkurang bagus. Agama yang hanya dilandasi iman, tanpa ilmu, di anggap  belum lengkap. Realitas yang di hadapi manusia, iman itu ada dalamdiri seseorang antara lain melalui pendidikan (misalnya oleh orang tua), tetapi dapat juga melalui usaha sendiri, misalnya dengan cermat merenungkan hidupnya di hadapan Sang pemberi hidup itu. Tentulah dalam arti terakhir itu berteologi adalah berfilsafat juga. Rasa berdebar-debar memahami Tuhan, melahirkan pemikiran filsafat.
Iman adalah sikap batin. Iman seseorang terwujud dalam sikap, perilaku dan perbuatanya, terhadap sesamanya dan terhadap lingkungan hidupnya. Sebagai ilmu, teologi merefleksikan hubungan  Allah dan manusia. Manusia berteologi karena ingin memahami imannya dengan cara lebih baik, dan ingin mempertanggungjawabkanya: “aku tahu kepada siapa aku percaya” (Suward, 2012:265). Dengan demikian teologi tiu sebuah ilmu, yang berbeda tipis dengan filsafat ilmu Ketuhanan. Baik teologi maupun filsafat jelas sebuah ilmu pengetahuan tentang hakikat hidup. Hakikat ilmu pengetahuan itu ada sumber asal usulnya.
Dengan demikian maka ilmu pengetahuan dan teologi memilki makna bagi kehidupan manusia, Ilmu pengetahuan membangun pola pemikiran yang harus logis. Dengan ilmu, seharusnya agama tidak hanya dilandasi keyakinan namun berdasarkan akal sehat. Karena dengan berpikir manusia kan mudah memahami hakikat Ketuhan. Manusia sebagaimakhluk berpikir, memilki kebebasan untuykmelakukan berbagai aktivitas apa saja dengannalar. Nalar manusia akan membangun agama rasional. Teologi yang rasional, tentu akan memudahkan manusia memahami hidup ini secara komprehensif dan proposional.

C.    Relasi Filsafat, Agama, dan Ilmu
Manusia sebagai makhluk pencari kebenaran yang hakiki tentunya akan menggunakan akal pikirnya, rasa, dan keyakinan atas apa yang ingin ia cari hingga memperolehnya atau mengetahuinya sampai mencapai suatu kebahagiaan dirinya.sejalan dengan menurut Suwardi, (2012:267) bahwa filsafat itu kuncinya pada upaya menemukan kebijaksanaan hidup. Orang yang tahu filsafat, sekaligus menguasai agama, dan ilmu seharusnya hidupnya semakin lengkap. Fokus filsafat juga berusaha menemukan kebenaran, jika dikaitkan dengan agama, tentu pencari kebenaran seharusnya kearah kebenaran transcendental. Kebenaran yang sifatnya abstrak ini, akan diraih melalui penguasaan ilmu yang mantap.
Dalam mencari, menghampiri suatu kebenaran dapat ditempuh dengan jalan, yaitu: ilmu, filsafat, dan agama. Ketiga jalan ini mempunyai ciri-ciri tersendiri dalam mencari, menghampiri dan menemukan kebenaran serta mempunyai titik persamaan, titik perbedaan dan titik singgung yang satu terhadap yang lainya.
1.      Ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan itu ialah hasil usaha pemahaman manusia yang disusun dalam suatu sistem mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hokum-hukum tentang hal ikhwal yang diselidikinya (alam, manusia, dan juga agama) sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran manusia yang dibantu pengindraanya, yang kebenaranya diuji secara empiris, riset dan eksperimental (Anshari dalam Suwardi, 2012:268).

2.      Filsafat
Filsafat ialah “ilmu istimewa” yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan yang biasa, karena masalah-masalah tersebut diluar atau diatas jangkauan ilmu pengetahuan biasa (Suhar, 2010:36)
Filsafat ialah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami (mendalami dan menyelami) secara radikal dan integral hakikat sarwa yang ada:
a.       Hakikat Tuhan,
b.      Hakikat alam semesta, dan
c.       Hakikat manusia
Serta sikap manusia termasuk sebagai konsekuensi daripada faham (pemahamannya) tersebut. (Rapar dalam Suwardi, 2012:268) menyatakan bahwa hal yang menyebabkan manusia berfilsafat karena dirangsang oleh: ketakjuban, ketidakpuasan, hasrat bertanya, dan keraguan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang dialami manusia dalam kehidupanya.
Suwardi, (2012:169) mengemukakan bahwasanya untuk itulah dalam berfikir filsafat perlu dipahami karakteristik yang menyertainya yaitu:
a.       Sifat menyeluruh, artinya seorang ilmuan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu sendiri tetapi melihat hakikat ilmu dalam konstalasi pengetahuan yang lainya.
b.      Sifat mendasar, artinya bahwa seorang yang berfikir filsafat tidak sekedar melihat keatas, tetapi juga mampu membongkar tempat berpijak secara fundamental.
c.       Sifat spekulatif, artinya  bahwa untuk dapat mengambil suatu kebenaran kita perlu spekulatif. Dari serangkaian spekulatif ini kita dapat memilih buah pikiran yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal dari penjelajahan pengetahuan (Suriasumantri dalam Suwardi, 20012:269)
3.      Agama
Agama pada umunya dipahami sebagai:
a.       Suatu system credo (tat keimanan atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak diluar manusia (Suwardi, 2012:269)
b.      Suatu sitem ritus (tata peribadatan) mannusia kepada yang dianggapnya mutlak itu (Suhar, 2010:37)
c.       Suatu system norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam lainya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan termasuk diatas.
Selanjutnya, (Titus dalam Suwardi, 2012:269) mengatakan bahwa agama harus dirasakan dan di pikirkan. Dalam hal ini dirasakan artinya ia harus di yakini dan dijelasakan dalam tindakan. Dipikirkan artinya menghendaki pemahaman tentang ilmu penegtahuan. Ilmu pengetahuan merupakan bagian filsafat ilmu yang menuntun kearah pencapaian kebenaran.
Jadi, dari ketiga jalan dalam mencari, mengahampiri dan menemukan suatu kebenaran dapat di temukan titik persamaan, titik perbedaan, dan titik singgunya, yakni:
a.       Titik persamaan
Baik ilmu, filsafat, maupun agama bertujuan sekurang-kurangnya berusaha berurusan dengan hal yang sama yaitu kebenaran (Suwardi, 2012:270). Ilmu pengetahuan dengan metodenya sendiri, mencari kebenaran tentang alam dan termasuk didalamnyba manusia. Filsafat, dengan wataknya sendiri pula, menghampiri kebenaran baik tentang alam maupun manusia (yang belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu, kerena diluar jangkauanya) ataupun tentang Tuhan. Dan agama dengan karakteristiknya sendiri, memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia baik tentang alam, manusia ataupun tentang Tuhan.
b.      Titik perbedaan
Suwardi, (2012:270) menyatakan titik perbedaannya terletak pada sumbernya, ilmu dan filsafat bersumber pada akal, budi,, rasio, reason, nous, vede, vertand, dan vernunft  manusia. Ilmu pengetahuan mencar kebenaran dengan jalan menyelidiki (riset, research), pengalaman (empiri) dan percobaan (eksperimen) sebagai batu ujian. Filsafat menghampiri kebenaran dengan eksplorasi akal budi secara radikal (mengakar); tidak meras terikata oleh ikatan apapun, kecuali ikatan tanganya sendiri bernama logika. Dan manusia mencari dan menemukan  kebenaran dengan  jalan mempertanyakan berbagai masalah asasi dari kepada kita kitab suci. Dan kitab sici adalah keyakinan.
Kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif (berlaku sampai dengansaat ini), kebenaran filsafat adalah kebenaran spekulatif (dugaan yang tidak dapat dibuktikan secara empiri, riset dan eksperimental). Baik kebenaran ilmu maupun kebenaran filsafat kedua-duanya nisbi (relatif). Sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak (absolut) karena agama adalah Wahyu yang diturunkan Allah.
Baik ilmu maupun filsafat dimulai dengan sikap sangsi dan tidak percaya. Sedangkan agama dimulai dengan sikap percaya atau iman (Anshari dalam Suwardi, 2012:272).
c.       Titik singgung
Tidak semua masalah yang dipertanyakan manusia dapat dijawab secara positif oleh ilmu pengetahuan. Karena ilmu itu terbatas: Allah; terbatas oleh subyeknya (sang penyelidik), oleh objeknya (baik material maupun formanya, dan oleh metodologinya. Tidak semua masalah yang belum terjawab oleh ilmu, lantas dengan sendirinya dapat dijawab oleh filsafat sedangkan filsafat dengan sifatnya yang spekulatif dan alternatif; tentang suatu masalah asasi yang sama terdapat berbagai jawaban filsafat (para filsuf) sesuai dengan sejalan dengan titik tolak sang ahli filsafat itu. Agama member jawaban tentang berbagai soal asasi yang sama sekali tidak terjawab oleh ilmu, yang dipertanyakan oleh filsafat.. dan juga tidak semua persoalan manusia terdapat jawaban dalam agama (Suhar, 2010:39-40).

D.    Agama Dan Pemikiran
Manusia dalam kehidupanya dan ilmu pengetahuan yang ia peroleh, terkadang melahirkan pemikiran-pemikiran yang kadang berseberangan dengan agama. Dimana agama menyatakan bahwa manusia ada karna penciptanya, manusia hidup karena Tuhanya. Namun dengan pengetahuan yang manusia yang diperolehnya itu, ia mulai berfikir akan keberadaanya yang kerkadang ia berpikir bahwasanya dia ada karena akalnya, ia merasa ada karena dibicarakan oleh orang lain. Hal  ini sejalan dengan yang di kemukakan oleh (Socrates dalam Suwardi, 2012:272) ia menggambarkan keberadaan manusia itu bahwasanya manusia berfikir dengan “aku berfikir maka aku ada”.
Namun lagi-lagi hal itu tidak cukup untuk menjawab dan menyelesaikan problematika kehidupan karnab kerapkali di jumpai teori (ilmu) yang tidak sesuai denganrealita, pun sebaliknya, realita tidak selamanya harus dibarengi dengan teori. Oleh karena itu manusia terus mencari solusi guna menjawab tantanga-tantangan tersebut, yaitu dengan agama.
Agama lahir sebagai pedoman dan panduan bagi kehidupan manusia. Agama lahir dengan tidak dengan rasio, riset, dan uji coba belaka melainkan lahir dari proses penciptaan zat yang berada di luar jangkauan akal manusia dan penelitian pada objek-objek tertentu. Agama menjadi titik akhir dari suatu perjalanan jauh manusia dalam mencari kepuasan hidup yang tidak bisa didapatkan dalam filsafat dan ilmu.
Filsafat lahir dari ketakjuban. Ketakjuban disi bukanlah hanya diam belaka melainkan timbulnya rasa penasarana yang sangat kuat yang mendorong untuk mencari kepuasan dari ketakjuban tersebut, namun usaha ini tidak pernah berakhir selama akal manusia masih ada. Begitu juga ilmu yang lahir dari ketakjubann para filsuf yang berusaha mencari kepuasan atas jawaban rasa penasaranya dengan berbagai cara yang cukup sistematis.
Einstein dalam Suwardi, (2012:274) menyatakan bahwa ilmu tanpa bimbingan moral (agama) adalah buta. Kebutaan moral yang disebabkan oleh ilmu dapat menjadikan manusia dalam malapetaka yang cukup besar.
Dengan beberapa kekurangan serta kelamahan filsafat dan ilmu, kita bisa menyempurnakanya dengan moral (agama) yangb bisa menjadi mediator gunan menyempurnakan kedua konsep tersebut untuk bisa diaktualisasikan dalam kehidupan duniawi yang praktis. Oleh karena itu nilai-nilai kebenaran yang memang menjadi ending dari filsafat dan ilmu dapat direalisasikan dengan konsep kebenaran hakiki yang dimiliki agama.

E.     Ilmu Dan Agama Dalam Perselingkuhan
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh oleh manusia terutama para ilmuwan yang mempunyai pemahaman tentang ilmu yang ia peroleh sebagai senjata bagaia kaum ateis untuk menentang agama. Hingga sampai menyebut agama tidak  bermakna, padahal agama dan ilmu sama-sama menawarkan kepastian dengan metode yang berbeda-beda.
Ilmu seringkali berpura-pura jadi agama dan itulah yang disebut scientism. Ilmu menyamar menjadi agama danmenawarkann kepastian suatu pemahaman yang diluar bidang ilmu itu sendiri dengan menggunakan logika-logika mereka. Sebuah paham bersembunyi dibalik teori-teori ilmiah. Paham-paham dibalik pemikiran ilmuann bersembunyi dibalik teori-teori ilmiah. Sebaliknya agama yang menggunakan ilmu juga berbahaya. Agama tidak dipahami begitu saja, karena kitab suci dan ajaran agama memerlukan penafsiran. Disana terdapat  berbagai penafsiran, buktinya adanya berbagai aliran-aliran dalam agama tersebut. Ilmu bisa saja menjadi senjata yang dikuasai aliran tertentu untuk menekankan pemahaman lain.
Perselingkuhan antara ilmu dan agama yaitu ketika ilmu berubah menjadi semacam agama. Ilmu tidak menyadari sifatnya yang tidak abadi dan faliable. Berusaha memaksakan diri untuk menjadi pasti akan membentur tembok-tembok yang digambarkan oleh para filsuf ilmu. Suwardi, (2012:276) menyatakan bahwa perselingkuhan ilmu dan agama akan selalu terjadi, ketika idealism pikiran sulit diterima oleh agama sebagai wahyu.
Keberadaan  filsafat berbeda dengan ilmu, ilmu ingin mengetahui sebab dan akibat dari sesuatu, sementara filsafat tidak terikat pada suatu ketentuan dan tidak mau terkurung hanya pada ruang dan waktu dalam pembahasan dan penyelidikan tentang hakikat sesuatu yang menjadi objek dan materi bahasanya. Sedangkan agama merupakan wujud kebenaran dan keselamatan manusia untuk hidup d dunia dan akhir. Dengan demikian Suwardi, (2012:277) dapat dikatakan bahwa perbedaan antara filsafat, agama dan ilmu yaitu:
a.       Filsafat adalah pengetahuan tentang non-empirik dan non-eksperimental diperoleh manusia melalui usaha.
b.      Ilmu adalah kumpulan pengetahuan mengenai suatu kenyataan yang tersusun sistematis dari usaha manusia yang dilakukan dengan penyelidikan, pengamatan, dan percobaan.
c.       Agama adalah kebenaran yang bersumber dari wahyu Tuhan mengenai berbagai hal kehidupan manusia dengan lingkunganya.




















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Sebagai filsuf, manusia memiliki sifat ingin tahu terhadap segala sesuatu. Sesuatu yang ingin diketahui manusia tersebut disebut pengetahuan. Pengetahuan selalu membuat penasaran. Pengetahuan manusia penuh teka-teki. Dalam perhatian filsuf, pengetahuan dibedakan menjadi 4 yaitu (1). Pengetahuan indra, artinya pengetahuan hasil daya tarik indra manusia. Termasuk didalamnya hasil daya tangkap indra keenam manusia, (2). Pengetahuan ilmiah, artinya pengetahuan diciptakan secara sistematis, melalui proses berpikir, koheren, transparan, dan akurat, (3). Pengetahuan filsafat, artinya pengetahuan yang didapat melalui olah pikir, dan ke (4) pengetahuan agama, artinya pengetahuan yang diperoleh atas dasar doktrin”.
Filsafat ialah “ilmu istimewa” yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan yang biasa, karena masalah-masalah tersebut diluar atau diatas jangkauan ilmu pengetahuan biasa. Dan ilmu anaknya filsafat dimana lahirnya ilmu sebagai hasil usaha pemahaman manusia yang disusun dalam suatu sistem mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hokum-hukum tentang hal ikhwal yang diselidikinya (alam, manusia, dan juga agama) sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran manusia yang dibantu pengindraanya, yang kebenaranya diuji secara empiris, riset dan eksperimental. Agama menjadi titik akhir dari suatu perjalanan jauh manusia dalam mencari kepuasan hidup yang tidak bisa didapatkan dalam filsafat dan ilmu yang akan memberikan pemahaman moral terhadap ilmu penegtahuan yang dilahirkann dari filsafat untuk menjadi ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupan mannusia.             
B.     Saran
Dalam memperoleh ilmu pengetahuan tentunya memerlukan usaha hingga menemukan suatu kebenaran ilmu pengetahuan. Dan ilmu pengetahuan yang kita peroleh itu tentunya sangat bermanfaat bagi kehidupan kita jika kita memanfaatkan ilmu itu sesuai dengan kebenarann yang pasti oleh agama yang merupakan pengetahuan yang mutlak atau wahyu dari Tuhan. Untuk itu kita sebagai seorang yang berpendidikan yang telah memperoleh  berbagai ilmu pengetahuan perlu juga mengetahuai penegtahuan akan agama sehingga suatu kebenaran yang kita cara dapt kita temukan dengan baik. Dan pemahaman akan filsafat, ilmu dan agama bahwasanya sama-sama memilki tujuan yang sama yaitu mencari kebenaran.















DAFTAR PUSTAKA

Akhadiah, S. dkk. 2011. Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
AM, Suhar. 2010. Filsafat Umum: Konsepsi, sejarah, dan aliran. Jakarta: Gaung Persada
Press.
Endrawara, S. 2012. Filsafat Ilmu: Konsep, sejarah, dan pengembangan metode ilmiah.
Yogyakarta: CAPS.
8/12/2016
http://kbbi.web.id. online


Selasa, 28 Juni 2016

budaya dan kognisi



BUDAYA DAN KOGNISI















 










OLEH
KELOMPOK III
                                    Nama                                      : Magis Laia
  Meniati Hia
  Nusiami Laia
                                    PRODI                                   : Bimbingan dan Konseling
                                    Matakuliah                            : BK Lintas Budaya
                                    Dosen Pengampu                  : Sesilianus Fau, M,Th.,M.Pd


Description: Logo STKIP Nisel WHITEE.jpg






SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP) NIAS SELATAN
2016
KATA PENGANTAR

            Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat dan kasih-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan judul: “budaya dan kognitif”.
            Dalam penyusunan makalah ini ini, kami banyak mendapatkan bantuan berupa masukan, arahan dan bimbingan serta kritik dan saran dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1.      Bapak Sesilianus Fau, M.Th.,M.Pd sebagai dosen pengampu matakuliah Bimbingan Konseling Lintas Budaya.
2.      Teman-teman mahasiswa yang telah membantu dalam memberikan masukan dan kritikan sehingga makalah inni dapat kami selesaikan.


                                                                                                Telukdalam,   Juni 2016
                                                                                                Penulis


                                                                                                Kelompok III





DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................i
DAFTAR ISI ............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................1
A.    Latar belakang ...............................................................................................................1
B.     Rumusan masalah ..........................................................................................................1
C.     Tujuan ............................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN .........................................................................................................2
A.    Pengertian lintas budaya ................................................................................................2
B.     Kognisi ..........................................................................................................................3
C.     Budaya dan memori .......................................................................................................5
D.    Budaya dan problem solving .........................................................................................7
BAB III PENUTUP ...............................................................................................................12
A.    Kesimpulan...................................................................................................................12
B.     Saran ............................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA














BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG
Sebagai makhluk yang dapat berpikir, manusia memiliki pola-pola tertentu dalam bertingkah laku. Tingkah laku ini menjadi sebuah jembatan bagi manusia untuk memasuki kondisi yang lebih maju. Pada hakikatnya, budaya tidak hanya membatasi masyarakat, tetapi juga eksistensi biologisnya, tidak hanya bagian dari kemanusiaan, tetapi struktur instingtifnya sendiri. Namun demikian, batasan tersebut merupakan prasyarat dari sebuah kemajuan.
Menurut Tri Dayakisni (2008) salah satu proses dasar kognisi ialah pemberian kategori pada setiap benda atau obyek atas dasar persamaan dan perbedaan karakternya. Selain kedua hal di atas, pemberian kategori juga biasanya didasarkan pada fungsi dari masing-masing objek tersebut. Proses-proses mental dari kognisi mencakup persepsi, pemikiran rasional, dan seterusnya. Ada beberapa aspek kognisi, yaitu kategorisasi (pengelompokan), memori (ingatan) dan pemecahan masalah (problem solving).

B.    RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini diantaranya yaitu :
1.      Pengertian lintas budaya?
2.      Apa itu kognisi?
3.      Apa itu budaya dan memori?
4.      Menjelaskan budaya dan problem solving?

C.    TUJUAN
1.      Untuk mengetahui pengertian lintas budaya
2.      Untuk mengetahui apa itu kognisi
3.      Untuk mengetahui apa itu budaya dan memori
4.      Untuk mengetahui menjelaskan budaya dan problem solving



BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA
Psikologi lintas budaya adalah kajian mengenai persamaan dan perbedaan dalam fungsi individu secara psikologis, dalam berbagai budaya dan kelompok etnik; mengenai hubungan-hubungan di antara budaya psikologis dan sosio-budaya, ekologis, dan ubahan biologis; serta mengenai perubahan-perubahan yang berlangsung dalam budaya-budaya tersebut. Sedangkan pendapat beberapa ahli, yaitu: Segall, Dasen dan Poortinga, psikologi lintas-budaya adalah kajian mengenai perilaku manusia dan penyebarannya, sekaligus memperhitungkan cara perilaku itu dibentuk dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan budaya.
Definisi ini mengarahkan perhatian pada dua hal pokok: keragaman perilaku manusia di dunia dan kaitan antara perilaku terjadi. Definisi ini relatif sederhana dan memunculkan banyak persoalan. Sejumlah definisi lain mengungkapkan beberapa segi baru dan menekankan beberapa kompleksitas: Riset lintas-budaya dalam psikologi adalah perbandingan sistematik dan eksplisit antara variabel psikologis di bawah kondisi-kondisi perbedaan budaya dengan maksud mengkhususkan antesede-anteseden dan proses-proses yang memerantarai kemunculan perbedaan perilaku.
Menurut Matsumoto, (2004) : Dalam arti luas, psikologi lintas budaya terkait dengan pemahaman atas apakah kebenaran dan prinsip-prinsip psikologis bersifat universal (berlaku bagi semua orang di semua budaya) ataukah khas budaya (culture spscific, berlaku bagi orang-orang tertentu di budaya-budaya tertentu)
Sedangkan Ruang Lingkup Psikologi Lintas Budaya dalam memahami tentang cabang ilmu psikologi lintas budaya yang dipelejari yaitu :
1.      Budaya dan Diri (Self)
2.      Persepsi
3.      Kognisi & Perkembangannya
4.      Psikologi Perkembangan
5.      Bahasa
6.      Emosi
7.      Psikologi Abnormal
8.      Psikologi Sosial

B.     KOGNISI
Kognisi adalah istilah umum yang mencakup seluruh proses mental yang mengubah masukan-masukan dari indera menjadi pengetahuan (Matsumoto, 2008). Menurut Tri Dayakisni (2008) salah satu proses dasar kognisi ialah pemberian kategori pada setiap benda atau obyek atas dasar persamaan dan perbedaan karakternya. Selain kedua hal di atas, pemberian kategori juga biasanya didasarkan pada fungsi dari masing-masing objek tersebut. Proses-proses mental dari kognisi mencakup persepsi, pemikiran rasional, dan seterusnya. Ada beberapa aspek kognisi, yaitu kategorisasi (pengelompokkan), memori (ingatan) dan pemecahan masalah (problem solving).
Salah satu proses dasar kognisi adalah cara bagaimana orang melakukan kateorisasi. Kategorisasi dilakukan umumnya atas dasar persamaan dan perbedaan karakter dari obyek-obyek dimaksud. Selain itu fungsi dari obyek juga merupakan deterministic utama inidari proses kategorisasi. Missal, ketika kita melakukan kategorisasi mengenai buku. Ada bermacam-macam buku mulai dari buku cerita, buku tulis, buku pelajaran hingga buku mewarnai untuk anak-anak. Semuanya kita masukkan dalam kategorisasi karena kesamaan bentuknya dari fungsinya yaitu tempat menuliskan sesuatu. Kertas tidak kita kategorisasikan ke dalam buku karena meskipun fungsinya bias dianggap sama namun dalam hal bentuk sangat berbeda. Buku tersusun atas banyak lembar kertas, sedang kertas tersusun atas satu lembar atau bias dihitung sejumlah jari tangan.
Seperti contoh kertas tadi, beberapa konsep psikologi juga berlangsung universal dalam kategorisasi. Contohnya, adalah kesepakatan dalam semua budaya akan masalah kategorisasi warna-warna apa yang digolongkan warna-warna apa yang digolongkan warna primer dan warna sekunder. Semua budaya tanpa melihat apakah budaya tersebut memiliki kosakata untuk berpuluh variasi warna ataupun hanya dua kosakata seperti suku di pedalaman. Papua yang hanya memiliki kosakata warna  gelap dan warna terang-ternyata tetap mampu melakukan penggolongan warna-warna dan diminta untuk menunjukkan kembali ternyata bias. Namun kesulitan biasanya terjadi ketika warna yang ditunjukkan adalah warna sekunder (campuran). Seorang Eskimo mampu membedakan gradasi warna es (warna putih bercampur warna lain) dengan namanya masing – masing. Bagi individu yang tidak hidup di lingkungan es tentunya akan kesulitan ketika yang ditunjukkan adalah warna sekunder dari putih.
Orang dengan latar budaya manapun juga cenderung melakukan kategorisasi bentuk benda (shapes) dalam kerangka bentuk-bentuk dasarnya, semacam, segitiga sama sisi, lingkaran, dan segi empat. Hal ini berbeda ketika kategorisasi dilakukan terhadap bentuk-bentuk geometris yang tidak beraturan. Penemuan dalam lintas budaya ini membuktikan bagaimana factor psikologis mempengaruhi pada bagaimana manusia melakukan kategorisasi stimulus dasar tertentu, dalam hal ini yang sudah terungkap adalah dalam bentuk, warna, dan ekspresi muka (Berry, 1999).
Namun demikian, beberapa penelitian juga telah membuktikan bagaimana budaya member pengaruh pada perbedaan proses kategorisasi. Contoh sederhananya, sekalipun apa yang dibuktikan pada perbedaan proses kategorisasi. Contoh sederhananya, sekalipun apa yang disebut kursi tampaknya semua budaya memiliki kesepakatan, namun terbuat dari apa yang biasa disebut kursi itu dan bagaimanabentuk kursi itu tampaknya perbedaan budaya member pengaruh di sini. Pada beberapa budaya, kursi umumnya terbuat dari bamboo, budaya yang lain mungkin kursi tersebut dari besi. Namun demikian, kursi panjang dari bamboo yang di Jawa disebut lincak mungkin saja tidak dikategorikan oleh budaya lain sebagai kursi tetapi sebagai bentuk lain dari tempat tidur.
Percobaan menarik dilakukan oleh Bruner dan Grenfield (1966), dalam Matsumoto, (1966) yang mendukung hipotesa adanya pengaruh budaya dalam proses kategorisasi oleh kognititif manusia. Pada para responden ditunjukkan beberapa gambar binatang dan beberapa lagi adalah gambar perlengkapan kerja. Mereka diminta melakukan kategorisasi beberapa lagi adalah gambar perlengkapan kerja. Mereka diminta melakukan kategorisasi terhadap gambar-gambar tersebut atas dasar perbedaan warna. Hal ini menjadikan kesimpulan awal harus ditinjau ulang, pasti ada sesuatu yang lebih dari kesedar penjelasan sederhana akan kematangan yang mempengaruhi adanya perbedaan dalam proses kategorisasi dari kedua komunitas yang mempengaruhi sesuatu yang lebih dari sekedar penjelasan sederhana akan kematangan yang mempengaruhi adanya perbedaan dalam proses kategorisasi dari kedua komunitas budaya tersebut.
Sejauh ini perbedaan di atas diasumsikan terhadi sebagai pengaruh tingkatan pendidikan Evans dan Segall (1969, dalam Matsumoto, 1996) melakukan penelitian di Uganda terhadap anak dan orang dewasa penduduk setempat. Beberapa diantara responden anak maupun dewasa memiliki pendidikan yang cukup baik sedangkan yang lain tidak mengenyam pendidikan. Hasilnya ditemukan bahwa tidak ada perbedaan, sebagaimana percobaan Greenfield, antara responden dewasa yang tidak memperoleh pendidikan dengan responden anak-anak baik yang sekolah maupun yang tidak. Sebaliknya ada perbedaan dasar kategorisasi antara responden dewasa yang memperoleh pendidikan dengan anak- anak baik yang sekolah maupun yang tidak. Hasil ini menunjukkan bahwa anak-anak baik yang sekolah maupun yang tidak. Hasil ini menunjukkan bahwa anak-anak melakukan kategorisasi atas dasar  yang lebih kompleks.

C.    BUDAYA DAN MEMORI
Memori ialah proses pengolahan informasi dalam kognitif yang meliputi pengkodean, penyimpanan, pemanggilan kembali informasi-informasi tersebut. Dalam hubungannya dalam penyimpanan dan pemanggilan kembali informasi-informasi tersebut, memori dibedakan menjadi memori jangka pendek (short term memory) yang jangka waktu menyimpan informasi tidak lebih dari 15-25 detik dan memori jangka panjang (long term memory) atau memori yang menyimpan informasi relatif permanen meskipun kadang ada kesulitan dalam memanggilnya kembali (Dayakisni, 2008)
Ross dan Millson (Matsumoto dalam Dayakisni, 2008) melakukan sebuah penelitian dengan membandingkan daya ingat pelajar Amerika dan pelajar Ghania. Mereka menduga bahwa tradisi oral membuat orang lebih baik dalam kemampuan daya ingatnya. Penelitian mereka ini ialah dengan membacakan cerita dengan suara yang keras dan membandingkan bahwa pelajar Ghania secara umum dapat mengingat isi cerita lebih baik daripada pelajar Amerika. Masih dalam Matsumoto (1996), Cole (1971) menemukan hal lain bahwa sekalipun masyarakat non-literate dapat mengingat isi cerita lebih baik namun kemampuan mereka dalam mengingat daftar kata cenderung lebih lama.
Serial Position Effect merupakan salah satu aspek memori yang paling dikenal karena pada hipotesa ini juga menerangkan bahwa seorang individu akan mampu mengingat lebih baik bagian pertama yang dibaca (primary effect) atau bacaan terakhir dari daftar kata yang harus diingat (recency effect). Meskipun demikian Wagner (dalam Matsumoto, 1996 dalam Dayakisni, 2008) menjelaskan bahwa primary effect ini juga berhubungan dengan pendidikan. Ia membandingkan kelompok anak Moroccan antara yang sekolah dan yang tidak pernah mendapat pendidikan. Hasilnya ialah primary effect cenderung lebih kuat pada anak yang pernah mengenyam pendidikan.
Anugerah Tuhan yang begitu besar pada manusia barangkali salah satunya adalah memori. Dengan memiliki memori, manusia bias mengingat pengetahuan yang telah diperolehnya sehingga bias membangun peradabannya, mengingat nama teman yang telah bertahun-tahun tidak bertemu lengkap dengan tahi lalat didagunya dan juga tempat serta peristiwa dimana pertama kali bertemu kekasih hati. Tetapi kadangkala kita juga merasa aneh ketika lupa dimana menaruh kunci mobil yang baru sekitar beberapa menit lalu masih kita pegang, atau lupa jawaban ujian yang sebenarnya tidak lebih sepuluh menit lalu kit abaca dan kita masih ingat halamannya.
Memori sendiri adalah sebuah proses pengelolahan informasi dalam kognitif yang meliputi pengkodean (encoding), penyimpangan (strore), dan pemanggilan kembali (retrieve) informasi. Berdasar jangka waktunya, memori dibedakan atas memori jangka pendek yaitu memori yang menyimpan informasi relative permanen meskipun kadang ada kesulitan dalam memanggil kembali (Feldman, 1999).
Masalah memori ini menjaid menantang ketika dikaitkan dengan perbedaan budaya. Apakah budaya yang berbeda mempengaruhi kemampuan, cara, serta apa yang dimemori? Termasuk budaya yang berbeda mempengaruhi kemampuan memori yang lebih baik daripada masyarakat yang sudah memiliki budaya baca tulis (literate) karena mereka terbiasa harus mengingat segala informasi yang ingin mereka ingat tanpa menuliskannya ataukah sebaliknya? Benarkah masyarakat yang sudah memiliki budaya tulis lebih lemah memorinya karena terbiasa menggunakan bantuan catatan dalam melakukan pengingatan?
Ross dan Millison (1970, dalam Matsumoto, 1996) menduga bahwa tradisi oral membuat orang lebih baik dalam kemampuan daya ingat. Mereka mendapatkan kesimpulan ini berdasarkan hasil penelitiannya yang membandingkan daya ingat pelajar Amerika dengan menemukan bahwa secara umum remaja Ghania mengingat isi cerita lebih baik daripada pelajar Amerika.
Cole selanjutnya membangun asumsi bahwa mengingat informasi-informasi yang saling tidak terkait merupakan hal yang sulit bagi individu yang tidak mendapat pendidikan dan sebaliknya tidak bagi yang pernah mengeyam pendidikan. Hal ini dikarenakan di sekolah murid terbiasa untuk mengingat huruf-huruf, berbadai macam data ataupun table, rumus-rumus dan sebagainya yang sesungguhnya merupakan simbol-simbol abstrak (tidak memiliki makna ketika dihubungkan dengan symbol lain, contohnya gabungan huruf-huruf hingga menjadi sebuah kata). Scribner (1974, dalam Matsumoto, 1996) melakukan penelitian pada subyek Afrika antara kelompok yang berpendidikan dengan kelompok yang tidak pernah mendapat pendidikan. Hasilnya ternyata sangat mendukung penelitian Cole, yaitu bahwa kelompok Afrika yang mendapat pendidikan mempunyai kemampuan mengingat informasi acak sama baiknya dengan kelompok responden Amerika. Sebaiknya kemampuan kelompok responden Arfika yang tidak pernah mendapat pendidikan ternyata lebih rendah.
Salah satu aspek memori yang paling dikenal adalah apa yang disebut Serial Position Effect. Hipotesa ini menerangkan bahwa apa yang kita ingat lebih baik adalah bagian pertama yang kit abaca(primacy effect) atau yang kit abaca terakhir kali (recency effect) dari daftar kata yang harus kita ingat. Menariknya, Cole dan Scribner (1974, dalam Matsumoto, 1996) menemukan tidak adanya hubungan anatara serial position dengan kemungkinan apa yang diingat dari penelitiannya pada masyarakat Kpelle pedalaman Liberia.
Wagner (1980, dalam Matsumoto, 1996) berpendapat bahwa primacy effect tergantung pada pengulangan dan strategi memori ini berhubungan dengan pendidikan. Wagner membandingkan kelompok anak Moroccan antara yang sekolah dengan yang tidak pernah sekolah dan menemukan bahwa primacy effect cenderung sangat kuat terjadi pada anak-anak yang mendapat pendidikan. Selanjutnya, Wagner membagi proses memoti atas dua macam, yaitu hardware atau kemampuan dasar dari memori (The Basic Limitation of Memory) yang tidak berubah dalam lintas budaya seperti tahap kemampuan memori pada anak dan Software atau bahasa pemrograman-pemrograman bagian kita mengingat sesuatu kemampuan ini dipelajari. Pada bagian pemrograman inilah peran pendidikan dan budaya berpengaruh.

D.    BUDAYA DAN PROBLEM SOLVING
Problem solving merupakan suatu proses dalam usaha menemukan urutan yang benar dari alternative-alternative jawaban suatu masalah dengan mengarah pada satu sasaran atau kea rah pemecahan yang ideal. Beberapa asumsi menjelaskan bahwa kemampuan ini sangat tekait dengan faktor pendidikan dan pengalaman termasuk pengalaman dengan lingkungan budaya tentunya. Namun para psikolog telah mencoba memisahkah proses problem solving dan budaya dengan meminta individu-individu dari berbagai latar budaya untuk memecahkan permasalahan – permasalahan yang tidak familiar dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Salah satu penelitian yang mencoba memahami perbedaan problem solving dalam lintas budaya adalah yang dilakukan Cole (1971). Ia mengambil subjek orang-orang dari Amerika dan Liberia. Dalam penelitiannya, ia menggunakan sebuah piranti yang memiliki beberapa banyak tombol, panel, dan lubang (stot). Untuk dapat membuka piranti tersebut dan mendapat hadiah yang ada di dalamnya, para subyek harus melakukan penggabungan dua prosedur, yang pertama yaitu menekan tombol yang tepat untuk melepas sebuah kelerang dan kedua adalah memasukkan kelerang ke dalam lubang yang tepat agar panel dapat terbuka sehingga pirantipun terbuka. Subyek anak Amerika yang berusia di bawah 10 tahun ditemukan tidak mampu memecahkan masalah ini dengan mudah. Namun problem solving ini dengan sangat mudah. Sebaliknya hampir keseluruhan subyek Liberia, dan semua usia dan latar belakang pendidikan, tampak mengalami kesulitan besar untuk menemukan cara gan langkah yang tepat membuka piranti. Kesimpulan yang diambil berdasar temuan ini adalah orang-orang Amerika memiliki kemampuan problem solving yang lebih baik dibandingkan orang Liberia utamanya dalam berpikir reasoning.
Penelitian ini mendapat kritik tajam dan dikatakan bias budaya. Para subyek Amerika mampu mengerjakan permasalahan yang diberikan dalam percobaan karena dalam kehidupan sehari-hari mereka telah terbiasa berhadapan dan menggunakan mesin-mesin tersebut, seperti: remote control, computer, mesin cuci dsb, sedangkan orang-orang Liberia tidak terbiasa berhadapan dengan piranti semacam itu dalam kehidupannya. Alat yang digunakan dikatakan memberikan keuntungan bagi orang Amerika dan member kecemasan tersendiri bagi subjek Liberia.
Cole dan rekan-rekannya selanjutnya mengulang percobaan dengan mengganti alat percobaan dengan sebuah kotak terkunci beserta kunci-kuncinya. Kotak dan kunci dilihat kurang bias budaya karena orang-orang Liberia juga sudah mengenai hal semacam ini bila dibandingkan dengan mesin beserta tombol-tombolnya. Pemecahan masalah tetap dirancang dengan kombinasi dua prosedur, yaitu subjek harus mengingat kotak-kotak kecil yang berisi kunci yang tepat dengan kunci-kunci mana yang tepat untuk membuka lubang kunci yang tepat. Hasil penelitian ternyata sangat berbeda dengan percobaan sebelumnya, semua subyej baik dari Amerika maupun Liberia mampu menyelesaikan tugas yang diberikan dengan waktu yang hampir sama atau dengan kata lain dengan sama mudahnya.
Kesuksesan percobaan Cole ini masih dipertanyakan, percobaan di atas meneliti kemampuan berpikir logis atau mengetes pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka miliki terkait dengan kotak-kota dan kunci. Guna menjawab permasalahan ini Cole kembali mengadakan percobaan ketiga dengan prosedur gabungan dan percobaan pertama dan kedua. Subyek diminta membuka kotak dengan kunci-kunci yang kunci-kunci tersebut harus diambil dari piranti yang tertutup. Untuk membuka piranti tersebut subyek harus menekan tombol yang tepat, mengambil kelereng, dan memasukkan kelereng ke dalam percobaan pertama. Subyek-subyek Liberia mengalami kesulitan untuk menyelesaikan masalah yang diajukan.
Cole selanjutnya menarik kesimpulan baru bahwa kemampuan orang Liberal untuk berpikir logis guna memecahkan suatu masalah sangat tergantung konteks. Ketika masalah yang disajikan menggunakan material dan konsep yang sudah mereka kenal, orang-orang Liberia berpikir logis sama baiknya dengan orang-orang Amerika. Sebaliknya ketika masalah yang disajikan kurang mereka kenal, mereka tampak mengalami kesulitan dari mana memulai langkah pemecahan masalah. Namun tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa orang Liberia memiliki kemampuan problem solving yang lebih rendah dibandingkan dengan orang Amerika. Sangat mungkin, sebaliknya, orang-orang Amerika akan mengalami kesulitan ketika masalah yang diajukan juga kurang mereka kenal namun sangat dekat dengan orang-orang Liberia, misalnya: menelusuri jejak binatang dengan menggunakan penciuman dan bekas jejak kakinya.
Tipe permasalahan lain yang diteliti dalam kaitan problem solving dengan perbedaan budaya adalah kemampuan berpikir silogis (vontoh: semua bocah suka permen, Siti masih kanak-kanak, apakah Siti menyukai permen ?). dalam penelitiannya yang luas pada masyarakat di Asia Timur dan Tengah yang dikatakan masih tribal (tradisional) dan nomaden (hidup berpindah-pindah), Luria (1976) menemukan bahwa kemampuan berpikir silogis ini lebih berkaitan secara signifikan dengan pendidikan dari pada dengan perbedaan budaya. Subyek rata-rata kurang mampu memberikan jawaban yang benar ketika diajukan pertanyaan silogis, namun pada subyek yang sudah pernah bersekolah sekalipun hanya setahun dan juga dari komunitas yang sama (tinggal di desa tersebut) ternyata sudah mampu memberikan jawaban yang benar. Dimana tingkat kebenaran ini selaras (signifikan) dengan tingkat pendidikan.
Beberapa analisa coba diberikan untuk menjelaskan ketidakmampuan orang yang tidak memiliki kemampuan baca tulis untuk menjawab pertanyaan silogis. Luria menyakini bahwa orang-orang yang tidak memiliki kemampuan baca tulis memiliki pola pikir yang berbeda dengan orang-orang yang sudah mampu baca tulis. Kerangka pikir ini merupakan hasil belajar yang dipelajari di sekolah. Mulai dari pengenalan huruf, menggambungkan dua huruf menjadi suku kata, dan menggabungkan suku kata suku kata menjadi sebuah kata merupakan dasar pola silogisme.
Kognitif diartikan sebagai kegiatan untuk memperoleh, mengorganisasikan dan menggunakan pengetahuan. Dalam psikologi, kognitif adalah referensi dari faktor-faktor yang mendasari sebuah prilaku. Kognitif juga merupakan salah satu hal yang berusaha menjelaskan keunikan manusia. Pola pikir dan perilaku manusia bertindak sebagi aspek fundamental dari setiap individu yang tak lepas dari konsep kemanusiaan yang lebih besar, yaitu budaya sebagai konstruksi sosial. Sedangkan kebudayaan (culture) dalam arti luas merupakan kreativitas manusia (cipta, rasa dan karsa) dalam rangka mempertahankan kelangsunganhidupnya. Manusia akan selalu melakukan kreativitas (dalam arti luas) untuk memenuhi kebutuhannya (biologis, sosiolois, psikologis) yang diseimbangkan dengan tantangan, ancaman, gangguan, hambatan (AGHT) dari lingkungan alam dan sosialnya.
Ada berbagai hal yang berhubungan dengan keberadaan faktor kognisi dalam pengaruhnya terhadap lintas budaya :
1.      Intelegensi Umum
Menurut David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.
Sementara itu, Sartono Kartodirdjo (dalam Kebudayaan Indis. 2011. Soekiman,Djoko) membagi masyarakat Hindia Belanda berdasarkan pendidikannya. Perkembangan pendidikan dan pengajaran menumbuhkan golongan ssosial baru yang mempunyai fungsi dan status baru, sesuai dengan diferensiasi dan spesialisasi dalam bidang sosial ekonomi dan pemerintahan.
Menurut Sartono, stratifikasi masyarakat Hindia Belanda adalah :
·         Elite birokrasi yang terdiri atas Pangreh Praja Eropa (Europees Binnenlands Bestuur) dan Pangreh Praja Pribumi
·         Priyayi Birokrasi termasuk Priyayi Ningrat,
·         Priyayi Profesional (dibagi menjadi dua, ada priyayi gedhe dan priyayi cilik),
·         Golongan Belanda dan Golongan Indo yang secara formal masuk status Eropa dan mempunyai tendensi kuat untuk mengidentifikasi diri dengan pihak Eropa, dan
·         Orang kecil (wong cilik) yang tinggal di kampung.

2.      Gaya Kognitif
Dalam (Kebudayaan Indis.2011. Soekiman, Djoko) menyebutkan aspek kognitif berhubungan dengan tingkat perasaan, yang sangat sulit untuk dilukiskan dan diamati. Hal ini berkaitan dengan berbagai aktivitas dan meliputi berbagai objek karena peneliti mendapatkan struktur-struktur dasar yang komplek sehingga peneliti perlu membatasi diri dan mempersempit garis besar permasalahan. Hal ini lebih sulit diartikan karena justru gaya Indis berpangkal pada dua akar kebudayaan, yaitu Belanda dan Jawa yang sangat jauh berbeda.
Untuk memahaminya perlu diketahui adanya suatu pengertian situasi atau fenomena kekuasaan kolonial dalam segala aspek dan proporsinya. Sebagai contoh, misalnya dalam hal membnagun rumah tempat tinggal dengan susunan tata ruangnya. Arti simbolik suatu bagian ruang rumah tinggal berhubu ngan dengan perilaku penghuninya. Pada suku Jawa, misalnya, tidaak dikenal ruang khusus bagi keluarga dengan pembedaan umur, jenis kelamin, generasi, famili, bahkan diantara anggota dan bukan anggota penghuni rumah. Maka fungsi ruang tidak dipisahkan atau dibedakan dengan jelas.
Contoh lain yang sangat menarik adalah keselarasaan sistem simbolik, khususnya gaya hidup. Betapa canggungnya orang pribumi Jawa yang hidup secara tradisional di kampung, kemudian pindah untuk bertempat tinggal di dalam rumah gedung di dalam blok atau kompleks dengan suasana rumah bergaya Barat yang modern. Kelengkapan rumah tangga yang serba asing, pembagian ruang-ruang di dalam rumah dengan fungsi yang khusus, fungsi ruang secara terpisah (apart) untuk terjaminnya privilege atau privacy penghuninya, semua itu menambah kecanggungan orang Pribumi untuk tinggal di dalam rumah yang asing. Anggapan bahwa rumah adalah model alam mikrokossmos menurut konsep pikiran Jawa dan sebagainya, tidak adapada alam pikiran Eropa. Apakah rumah gaya Indis sebagai tempat tinggal baru diinterpretasikan dengan pola konsep lama atau tradisional Jawa? Hal ini belum jelas.










BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kognisi adalah istilah umum yang mencakup seluruh proses mental yang mengubah masukan-masukan dari indera menjadi pengetahuan (Matsumoto, 2008). Menurut Tri Dayakisni (2008) salah satu proses dasar kognisi ialah pemberian kategori pada setiap benda atau obyek atas dasar persamaan dan perbedaan karakternya. Proses-proses mental dari kognisi mencakup persepsi, pemikiran rasional, dan seterusnya. Ada beberapa aspek kognisi, yaitu kategorisasi (pengelompokkan), memori (ingatan) dan pemecahan masalah (problem solving).
Salah satu proses dasar kognisi adalah cara bagaimana orang melakukan kateorisasi. Kategorisasi dilakukan umumnya atas dasar  persamaan dan perbedaan karakter dari obyek-obyek dimaksud. Selain itu fungsi dari obyek juga merupakan deterministic utama inidari proses kategorisasi. Missal, ketika kita melakukan kategorisasi mengenai buku.
Ada bermacam-macam buku mulai dari buku cerita, buku tulis, buku pelajaran hingga buku mewarnai untuk anak-anak. Semuanya kita masukkan dalam kategorisasi karena kesamaan bentuknya dari fungsinya yaitu tempat menuliskan sesuatu.
Memori ialah proses pengolahan informasi dalam kognitif yang meliputi pengkodean, penyimpanan, pemanggilan kembali informasi-informasi tersebut. Dalam hubungannya dalam penyimpanan dan pemanggilan kembali informasi-informasi tersebut, memori dibedakan menjadi memori jangka pendek (short term memory) yang jangka waktu menyimpan informasi tidak lebih dari 15-25 detik dan memori jangka panjang (long term memory) atau memori yang menyimpan informasi relatif permanen meskipun kadang ada kesulitan dalam memanggilnya kembali (Dayakisni, 2008)
Problem solving merupakan suatu proses dalam usaha menemukan urutan yang benar dari alternative – alternative jawaban suatu masalah dengan mengarah pada satu sasaran atau kea rah pemecahan yang ideal.

B.     SARAN
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Semoga isi dari makalah ini bermanfaat bagi pembaca khususnya mahasiswa jurusan bimbingan dan konseling.


DAFTAR PUSTAKA

Walgito, Bimo. 2004. Psikologi Umum. Yogyakarta; Penerbit Andi.
Walgito, Bimo. 1999. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta; Penerbit Andi.
www.mindscapecenter.com